Perjuangan Revolusioner

Popular Posts

Cari Blog Ini

Home » » Dampak Globalisasi pada Bidang Ekonomi

Dampak Globalisasi pada Bidang Ekonomi

Written By Unknown on Rabu, 08 Oktober 2014 | 09.08


Globalisasi telah mengubah secara dramatis kehidupan miliaran manusia di seluruh dunia. Berbagai dampak yang ditimbulkan oleh gelombang globalisasi umumnya dapat dilihat secara kasat mata melalui berbagai aksi demonstrasi atau protes-protes yang terjadi di seluruh dunia ketika dilangsungkannya konperensi atau pertemuan tingkat tinggi organisasi global semacam WTO, IMF dsb. Gelombang protes tersebut terjadi karena mereka menganggap bahwa telah terjadi sejumlah masalah besar di seluruh negara di dunia.
            Sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu yang mempelajari hubungan manusia, melihat perubahan situasi dunia saat ini juga merespon kajian-kajiannya dalam konteks globalisasi. Teori-teori globalisasi yang muncul merupakan reaksi terhadap teori modernisasi yang telah ada sebelumnya. Dalam teori globalisasi ada karakteristik khas yang menjadi ciri khasnya, yakni bias Barat,  dalam arti kemajuan perkembangan Barat serta gagasan yang mengatakan bahwa seluruh dunia tidak memiliki banyak pilihan kecuali semakin mirip dengan Barat (Ritzer, dkk., 2009:634).
        Globalisasi di sini diartikan sebagai proses integrasi ekonomi, politik, sosial, dan budaya ke dalam ‘konstelasi pos-nasional’ dimana suatu komunitas menghadapi kekuatan dan tantangan dari dinamika konstelasi tersebut (Habermas, 2001).  Sedangkan Appadurai Arjun (1997) bahkan lebih jauh mengatakan bahwa efek ambiguitas dari globalisasi telah memunculkan suatu “etnisitas baru” khususnya dalam masyarakat  trans-nasional yang menantang kondisi-kondisi maupun praktek politik di suatu negara (wilayah lain). Misalnya melalui kemunculan komunitas politik trans-nasional seperti international-NGO atau  perjuangan politik kelompok diaspora (seperti: Gerakan Aceh Merdeka, atau Gerakan Papua Merdeka). Appadurai juga mengatakan bahwa efek ambigu dari globalisasi telah memperluas bentuk-bentuk resistensi baik secara lokal maupun yang bersifat global dikarenakan tidak semua kelompok dapat secara penuh terlibat di dalam proses globalisasi. Hal ini misalnya kita temui dalam munculnya kelompok-kelompok antiglobalisasi, kelompok-kelompok yang memperjuangkan penghapusan hutang Dunia Ketiga dengan asumsi bahwa kemakmuran Dunia Pertama diperoleh melalui penjarahan kolonialisme di Dunia Ketiga. 
            Globalisasi dalam perspektif sosiologi dapat dianalisis baik pada dimensi ekonomi, kultural, politik maupun kelembagaan/institusi. Perbedaan utamanya adalah apakah orang akan melihat semakin besarnya homogenitas atau heterogenitas. Dalam perspektif politik, misalnya, yang ditekankan apakah homogenitas ataukah heterogenitasnya. Dalam perspektif homogenisasi, pemikiran Barber (1995) dianggap cukup terkenal dan paling “ekstrem”, yakni pemikirannya tentang “McWorld” atau tumbuhnya orientasi politikk tunggal yang makin berkuasa di seluruh dunia (Ritzer, dkk., 2009:635).
            Makalah ini membahas globalisasi dalam perspektif politik pada 4 tataran masalah, yakni Kebangsaan (nationhood), Teror dan terorisme, serta politik identitas
A.     Mengurai Kebangsaan Kita
             Indonesia merupakan Negara kebangsaan tempat dimana kita merasa ada ikatan alamiah satu sama lain, karena kita semua memakai bahasa yang sama bahasa Indonesia, dan berada di tanah air yang sama tanah air Indonesia.
            Wawasan itu telah membuat kita seolah-olah menjadi satu atau “komunitas yang dibayangkan”, yaitu suatu komunitas yang sebenarnya secara fisik sulit dibuktikan. Komunitas yang sebenarnya hanyalah khayalan dimana keberadaannya secara fisik tidak terbentuk. Hanya atas dasar kesepakatanlah istilah “nasional’ mendapatkan legitimasi sebagai sesuatu yang nyata.
            Suatu nationhood adalah suatu kesatuan solidaritas sosial yang tinggi, dimana individu dalam masyarakat, hidup saling percaya satu sama lain. Hubungan soilidaritas itu bisa dijumpai tanpa pengaturan oleh aturan-aturan hukum yang diadakan dan dipertahankan oleh sesuatu pemerintahan Negara.
            Karena itulah rasa kebangsaan sebenarnya sudah ada jauh sebelum Indonesia menjadi suatu Negara: karena rasa solidaritas tidaklah sama dengan hak-hak dan kewajiban warga Negara seperti dinyatakan oleh undang-undang yang berlaku. Namun, kebangsaan itu seolah menjadi suram ketika persoalan demi persoalan terus melanda bangsa ini. Tidak hanya solidaritas kita sebagai bangsa besar yang terganggu, namun juga kenyataan buruk yang dipertontonkan oleh para pemimpin, pemerintah dan penegak hukum kita terhadap rakyatnya, apalagi melihat perilaku mereka dengan ketidakadilannya, membuat kita agak miris melihatnya.
Kenyataan ini melahirkan satu pertanyaan penting terkait dengan kebangsaan kita, yaitu masihkah kita merasa bangga dengan bangsa ini? Pertanyaan ini penting untuk dijawab mengingat gejala kehidupan akhir-akhir ini melahirkan pemahaman yang “agak miring” terhadap rasa kebangsaan yang kita miliki. Pertanyaan ini bermula ketika ada tontonan vulgar yang membuat kita cemas, sedih bahkan sedikit marah. Tontonan itu kita mulai dengan perilaku  penegak hukum kita. Apa yang kita lihat baru-baru ini mengenai kasus hukum yang menimpa kaum lemah adalah bentuk ketidakadilan. Rentetan kasus hukum itu bisa kita lihat dari kasus Bibit dan Candra yang dianggap menyalahgunakan wewenang, harus merasakan perihnya hidup di penjara, lalu kasus Prita Mulyasari yang hanya mengeluh atas pelayanan buruk yang dia alami selama dirawat di salah satu rumahsakit swasta di Jakarta pada teman-temannya di internet, harus merasakan bingungnya membayar Rp. 204 juta, yang melahirkan gerakan koin peduli Prita. Belum lagi masalah lain yang merongrong rasa keadilan kita. Bagaimana Ibu Minah (55 tahun) yang tidak sengaja memetik tiga buah kakao di perkebunan PT Rumpun Sari, harus mendekam di penjara selama 1 bulan 15 hari, dan kasus pencurian semangka oleh Basar (40 tahun) dan Kholil (51 tahun) di Kediri, harus menikmati pahitnya hidup menyendiri selama 15 hari.
Sedangkan kasus Bank Century yang jelas merugikan Negara, belum bisa diurai siapa yang bertanggungjawab di belakangnya, justru terkesan “ada pembelaan politik” terhadap para pejabat yang selama ini dianggap terlibat oleh publik. Sungguh ironis, hukum kita hanya mampu menjerat yang lemah, dan tak mampu meringkus yang kuat dan berkuasa.
Kasus ini membuat kita bertanya, inikah cara pemimpim dan penegak hukum kita menciptakan keadilan, kehidupan tanpa diskriminasi, dan perlindungan bagi yang lemah? Mengapa hukum kita menjadi kaku terhadap yang lemah, dan menjadi fleksibel bagi yang kuat? Dan mengapa hukum kita semakin berjarak dengan keadilan? Pertanyaan ini tidaklah berlebihan, sebab kita seringkali mendengar “tausyiah” dari para pemimpin kita atas keberhasilnnya dalam menegakkan keadilan, kehidupan tanpa diskriminasi, dan perlindungan bagi yang lemah. Jika “tausyiah” itu tanpa kemunafikan, sejatinya kasus hukum yang menimpa anak bangsa tidak menjadi tontonan menyedihkan.
Akhirnya kita sadar bahwa apa yang dilakukan oleh para pemimpin dan penegak hukum kita adalah cermin kebangsaan kita selama ini. Tidak heran jika rakyat kita kecewa dan melahirkan gerakan baru, atas nama rakyat dengan kekuatan people power-nya, seperti gerakan fecebooker, gerakan turun ke jalan, dan gerakan koin untuk Prita. Gerakan itu merupakan tanda atas kekecewaan pada penegak hukum kita. Penegak hukum dan lembaga hukum kita hanya menjadi simbol kekuasaan yang tidak mampu memberikan keadilan, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tontonan lain yang membuat kita malu adalah perilaku pemerintah terhadap kaum miskin kota. Kita merasa sedih ketika pemerintah memperlakukan mereka layaknya hewan liar, tanpa melihat sisi kemanusiaannya. Bagaimana mereka diusir, rumah mereka dihancurkan, dagangan mereka digusur dan mereka dibiarkan tanpa tempat tinggal dan penghasilan sepeserpun. Mereka menjadi gelandangan yang tak tahu kemana arah hidup mereka, mereka tidak tahu harus makan apa, dan mereka bingung harus minta pertolongan pada siapa. Pemerintah hanya menjadi penjajah baru dalam hidup mereka. Bagi mereka pemerintah adalah musuh yang membahayakan hidupnya, bahkan sewaktu-waktu bisa melenyapkan keberadaannya.
Inikah bangsa yang merdeka? Sejatinya bangsa yang sudah merdeka memberikan penghidupan yang layah bagi rakyatnya, memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakatnya, dan perlindungan yang lebih bagi kaum miskin kota, bukan penggusuran, pengusiran dan penghinaan bagi mereka. Sungguh ini adalah kemunduran dan pembusukan bangsa kita.
Padahal kita sering mendengar tentang kekayaan kita; sumber daya alam yang banyak, tanah yang makmur, minyak yang melimpah, emas dimana-mana. Tapi kenapa kaum miskin kita berceceran dimana-mana, gelandangan menjadi pemandangan di kota, kelaparan masih menimpa rakyat kita, dan lebih aneh lagi, pemerintah kejam terhadap rakyatnya. Apa yang salah dengan bangsa ini, ataukah karena keserakahan para pemimpin yang selalu memakan uang rakyat kita. Inilah awal dari runtuhnya rasa kebangsaan ini.
Tontonan di atas telah melahirkan kekecewaan yang luar biasa, rasa bangga kita terhadap bangsa ini sedikit menjadi redup atas perilaku para pemimpin, pemerintah dan penegak hukum kita. Cerita tentang semua kekayaan alam, dengan kebudayaan yang beragam, ditambah bahasa daerah yang bermacam-macam, hanya menjadi cerita masa lalu yang tidak memuaskan hidup kita masa kini.
Kenyataan itu juga membuat kita merasa sedih dan perih. Kebanggaan yang dulu kita banggakan tidak lagi kita rasakan hari ini. Kita hanya bangga dengan masa lalu kita, dengan cerita-cerita indahnya, dan bangga kepada para pejuang kita, dengan cerita heroiknya. Kini apa yang kita rasakan hanyalah kepedihan dari tontonan yang memilukan.
Karena itulah, para pemimpin kita sejatinya mengoreksi kembali akan moralitas, mentalitas dan hati nurani mereka dalam mengurus bangsa ini. Bangsa ini harus diurus dengan moralitas dan mentalitas yang baik. Bangsa ini tidak bisa diurus layaknya perusahaan kecil dengan seenaknya mengelola, dan hanya demi segelitir orang saja yang menikmati hasilnya. Bangsa ini adalah bangsa yang besar dengan segala pernak-pernik kekayaannya.
Untuk itulah, masih ada harapan untuk membangun kembali rasa kebangsaan kita, harapan itu paling tidak dari kemauan dan kesungguhan para pemimpin, pemerintah dan penegak hukum kita dalam memperbaiki kinerjanya. Kepada siapa lagi harapan ini harus disampaikan, kecuali kepada para pemangku bangsa ini. Mudah-mudahan harapan ini bisa membuat mereka bercermin dengan keadaan hari ini, sehingga bisa merejuvenasi rasa kebangsaan kita dimasa yang akan datang.
 B.    Globalisasi dan Demokratisasi
Pada masa Perang Dingin (antara 1945-1989) tatanan dunia cenderung bersifat bipolar, yaitu antara kekuatan liberal yang terutama diwakili oleh Amerika Serikat dan sekutunya dan kekuatan komunis yang terutama diwakili oleh Uni Soviet dan porosnya. Dalam kurun tersebut praktis para pemimpin di kedua kubulah yang dapat mempengaruhi arah politik dunia. Pascapecahnya Uni Soviet, dunia tidak lagi semata ditentukan oleh dua kekuatan di atas (Amerika Serikat vs Uni Soviet). Kini, aktor-aktor di tingkat lokal pun dapat memberi warna pada lanskap politik dunia. Tidak terbayangkan sebelumnya bahwa gerakan demokrasi di Polandia justru digerakkan oleh para buruh pelabuhan di bawah kepemimpinan Lech Walesa, kita juga tidak bisa menyebut satu per satu mahasiswa yang menjadi motor gerakan pro-demokrasi di China, Korea Selatan, Indonesia, dan negara-negara lain. Meski demikian, jelas bahwa gerakan perlawanan yang mereka gelorakan telah membawa dunia pada suatu tahap baru yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dalam kaitan dengan globalisasi dan hubungan yang terbangun di dalamnya, kemunculan aktor-aktor individual di luar negara ini memperoleh perhatian khusus dari Thomas Friedman. Bagi Friedman (2000) sistem globalisasi dibangun di atas tiga keseimbangan. Yang pertama adalah keseimbangan di antara sesama negara-bangsa. Fenomena semacam ini kita dapati, misalnya, dalam tarik-menarik kekuasaan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet (superpowers) pada masa Perang Dingin. Yang kedua adalah keseimbangan antara negara-bangsa dan pasar global. Kita dapat melihat bagaimana kekuatan pasar (supermarkets) telah mengendalikan dinamika ekonomi Indonesia sehingga ia menyumbang peran bagi terjungkalnya Soeharto dari kekuasaannya pada 1998. Yang ketiga adalah keseimbangan antara individu dan negara-bangsa.
Hubungan yang terakhir ini benar-benar baru dan khas era globalisasi. Karena globalisasi telah merubuhkan tembok-tembok yang membatasi gerak dan jangkauan orang, dan karena globalisasi juga secara simultan telah menghubungkan dunia ke dalam satu jaringan, maka ia memberi kekuatan yang jauh lebih besar – ketimbang di masa sebelumnya – kepada individu untuk memengaruhi baik negara-bangsa maupun pasar. Karena itulah, demikian Friedman, kini individu (super-empowered individuals) dapat muncul sebagai pelaku utama di panggung dunia tanpa harus dimediasi oleh negara. Kurang lebih inilah kenyataan yang mewarnai gelombang demokratisasi ketiga. Yaitu ketika panggung politik tidak hanya ditingkahi oleh polah negara dan aktor-aktor besar yang sebelumnya selalu menjadi pusat perhatian, melainkan pula oleh individu-individu dengan kekuatan luar biasa yang mampu membuat suatu perubahan besar. Dengan latar belakang demikian, globalisasi (dalam salah satu wajah ramahnya) telah membangun jalan bagi internasionalisasi demokrasi. Tak dapat disangkal lagi, runtuhnya tembok-tembok yang mengekang kebebasan telah membuat komunikasi menjadi begitu leluasa (Susanto, http://www.kibar.or.id/web/index.php? option=com_content&task=view&id=32&Itemid=53)
Keleluasaan ini berjalin kelindan dengan harapan akan kehidupan yang sejahtera dan telah mendorong diterimanya gagasan demokrasi di banyak tempat. Meluasnya gagasan kebebasan dan demokrasi pada masa-masa terakhir dapat kita lihat dari apa yang dipotret oleh Freedom House. Dalam laporannya pada 2004 lembaga ini menyoroti kebebasan dan ketidakbebasan di 192 negara. Hasilnya 88 negara berada dalam kondisi bebas, 55 negara setengah bebas, dan 49 negara berada dalam kondisi tidak bebas. Jumah ini, bagaimana pun, merupakan lonjakan yang berarti mengingat satu dekade sebelumnya lembaga yang sama mencatat hanya 72 negara dari total 190 negara yang berada dalam kondisi bebas. Jika mengikuti alur Gelombang Demokratisasi Ketiga, maka kita dapat memperbandingkan bahwa dalam duapuluh tahun terakhir terjadi perkembangan yang pesat (http://www.feedomhouse.org).
Pada 1973 Freedom House memperkirakan sekitar 32% penduduk dunia berdiam di negeri-negeri yang bebas, sementara pada 2003 angka tersebut meningkat menjadi sekitar 44% (setara 2,78 milyar penduduk). Laporan terbaru pun memberi kabar yang menggembirakan, karena jumlah negara yang berada dalam kondisi bebas pada 2005 mencapai 89 negara, setengah bebas 58 negara, dan yang tidak bebas 45 negara. Suatu kemajuan yang cukup mengesankan. Mencermati kenyataan di atas, tidak berlebihan kiranya jika abad duapuluh ini disebut sebagai Abad Demokrasi.
Dalam tulisannya yang bertajuk Democracy as a Universal Value, Amartya Sen (1999) menyebut bahwa di antara berbagai perkembangan hebat yang terjadi di abad keduapuluh, tak pelak, kebangkitan demokrasi merupakan perkembangan yang paling nyata. Meski gagasan dasar demokrasi berawal dari Yunani Kuno lebih dari dua milenium silam, demikian Sen, namun gagasan demokrasi sebagai suatu komitmen universal adalah produk abad keduapuluh. Dengan logika sejarah Hegelian, Francis Fukuyama (1992) bahkan dengan lantang menyuarakan akhir sejarah. Yaitu ketika krisis ganda melanda otoritarianisme dan perencanaan terpusat pada sosialisme, lalu menyisakan satu-satunya pesaing tegak di arena sebagai suatu ideologi yang sifat potensial universalnya telah terbukti: demokrasi liberal, doktrin tentang kebebasan individu dan kedaulatan rakyat. Saya tidak ingin berada dalam posisi defensif terhadap gagasan Fukuyama tentang akhir sejarah. Yang hendak saya katakan adalah bahwa fenomena merebaknya gagasan demokrasi dan kebebasan yang melanda dunia telah membelalakkan kesadaran banyak pihak.
Posisi intelektual Fukuyama hanya salah satu di antara banyak pandangan lain yang berada dalam spektrum yang serupa, yaitu pandangan bahwa demokrasi telah menjadi salah satu gagasan utama yang dominan dalam pergeseran masa ini. Pada bagian akhir, saya ingin menyebut bahwa fenomena meluasnya gagasan demokrasi yang antara lain dipacu oleh proses globalisasi – sebagaimana telah saya uraikan di atas – sesungguhnya baru merupakan salah satu wajah baik globalisasi. Patut dikemukakan pula bahwa masih banyak distorsi yang terjadi dalam hubungan antarnegara dewasa ini. Distorsi tersebut, bagaimana pun, mesti dilihat sebagai bagian dari wajah globalisasi
Menurut O’Donnell prinsip terpenting demokrasi adalah kewarganegaraan (citizenship).  Sedangkan Lyman Tower Sargent, unsur-unsur kunci demokrasi adalah keterlibatan warga negara dalam pengambilan keputusan politik, kesederajatan diantara warga negara, kesederajatan kebebasan dan kemerdekaan yang diberikan atau dipertahankan warga negara, sistem perwakilan dan sistem pemilu.      
Adapun proses demokratisasi, kalau meninjau dua istilah itu, mengacu kepada proses-proses dimana aturan-aturan dan prosedur kewarganegaraan diterapkan pada lembaga-lembaga politik yang dulu dijalankan dengan prinsip-prinsip lain (misalnya pengawasan  dengan kekerasan, tradisi masyarakat, pertimbangan para pakar, praktek administratif) diperluas sehingga mencakup mereka yang sebelumnya tidak ikut menikmati hak dan kewajiban (misalnya golongan bebas pajak, kaum buta huruf, wanita, remaja, golongan etnis minoritas dan warga negara asing) . Demikian pula bila aturan lama itu diperluas sehingga meliputi isu-isu dan lembaga-lembaga yang semula tidak menjadi wilayah partisipasi masyarakat seperti badan-badan pemerintahan, jajaran militer, asosiasi kepentingan dan lembaga pendidikan. Dengan kata lain sebuah proses demokratisasi merupakan perluasan partisipasi masyarakat dalam berbagai keputusan politik.       
Konsep demokrasi yang diproduksi oleh paradigm Neo-liberalisme, selanjutnya melalui dukungan kekuasaan birokrasi pengetahuan universitas yang memiliki jaringan skala global, serta dukungan dana lembaga dana keuangan atau Bank berskala global. Paradigm demokrasi neoliberal ini segera menjadi diskurus dominan mengenai tatanan politik yang dianggap paling demokratis dan dimantapkan melalui berbagai proyek demokratisasi seperti Pemilu dan Voter Education, Pemerintahan bersih (clean government), serta tertib hukum, tanpa mempersoalkan siapa sebenarnya yang ada dibalik semua itu (Jurnal Wacana Ilmu Sosial Transformatif, No. II/1999:4).
            Dibalik proyek demokratisasi, negara-negara maju yang selama ini dikenal sebagai episentrum politik dunia, mereka merusaha untuk menyebarkan virus politik “demokrasi” ke berbagai belahan dunia, terutama negara-negara yang masih konservatif sistem politiknya atau masih bercorak otoritarian. Demokrasi liberal berusaha untuk mengurasi peran negara, dan memperluas peran masyarakat. Kebebasan politik masyarakat sangat diagung-agungkan dalam idiologi demokrasi liberal. Demokrasi liberal muncul sebagai respon terhadap persepsi ancaman dominasi negara terhadap kebebasan individu (personal liberty)
Globalisasi menjadi arena bagi menyebarnya “virus politik” demokrasi liberal ke berbagai belahan dunia. Di lapangan politik, globalisasi menggerus tembok-tembok yang selama ini menjadi sekat bagi hubungan antar masyarakat. Dalam proses ini, sebuah tindakan pada level lokal dapat membawa akibat yang melampaui batas-batas fisik sehingga ia memengaruhi apa yang terjadi di belahan lain dunia. Dalam rumusan David Held (1995), globalisasi setidaknya tercermin pada dua fenomena yang memiliki pengaruh nyata. Pertama, melonggarnya rantai-rantai yang membelenggu aktivitas politik, ekonomi, dan sosial sehingga sekup semua aktivitas tersebut kini membentang seluas dunia. Kedua, semakin intensnya tingkat interaksi dan ketersalinghubungan di dalam dan di antara negara-negara serta masyarakat.
Kita dapat menoleh kembali ke masa pascaPerang Dunia II ketika Amerika Serikat dan Uni Soviet keluar sebagai pemenang pertarungan politik dan militer yang akbar itu. Kedua negara tersebut lantas membagi dunia seolah menjadi dua kubu, mereka yang berpihak kepada Amerika Serikat dan mereka yang berpihak kepada Uni Soviet. Ekspor ideologi yang dilakukan oleh keduanya – melalui berbagai tekanan yang ekplisit maupun implisit – tentu saja mengandaikan adanya komunikasi yang intens di antara negara-negara. Tanpa prasyarat itu, daya jangkau tekanan ideologi tidak akan mungkin melingkupi hampir setiap permukaan bumi. Dalam lingkup yang berbeda, fenomena penyebarluasan gagasan politik dapat pula kita lihat dalam semangat Revolusi Iran. Pascakeberhasilan menggulingkan Shah Reza Pahlevi dari kekuasaannya pada 1979, Imam Khomeini berupaya untuk menyebarluaskan gagasan revolusionernya (terutama) ke negara-negara berpenduduk Muslim.
Dalam perkembangan modern, dapat disebut inilah kemunculan kedua (internasionalisasi) Islam ideologis sebagai gagasan yang mempersatukan. Pada masa sebelumnya, fenomena semacam ini kita dapatkan pada upaya perlawanan terhadap imperialisme hingga kelahiran negara-negara baru (pascakolonial) di Jazirah Arab setelah berakhirnya Perang Dunia II. Tetapi, berbeda dengan kemunculannya yang pertama, Islam ideologis a la Khomeini ini memperoleh sambutan yang kurang menggembirakan di dunia Islam. Dua hal setidaknya dapat disebut sebagai penyebab utamanya: 1) kekuasaan para despot di wilayah-wilayah mayoritas Muslim masih cukup konsolidatif vis a vis perlawanan rakyat, dan 2) semangat revolusi yang terbalut ajaran Syiah diterima dengan sikap curiga oleh sebagian kalangan penganut Sunni. Kembali kepada gagasan Held, patut pula dicatat bahwa dua fenomena yang telah disebut di atas menjadi bagian dari mata rantai yang memungkinkan menyebarluasnya gagasan tentang kebebasan dan demokrasi, terutama pada bagian akhir abad keduapuluh.
Kita dapat merujuk pada apa yang disebut oleh Samuel P Huntington (1995) sebagai ‘Gelombang Demokratisasi Ketiga’, yang secara mengejutkan justru berawal dari kudeta para perwira militer Portugal terhadap kekuasaan diktator Marcello Caetano pada 1974. Inilah masa persemaian baru gagasan demokrasi – setelah ia sempat mekar lalu menguncup, kemudian mekar dan menguncup kembali – dalam perjalanan panjang peradaban sejak akar demokrasi modern itu mulai tumbuh seiring keberhasilan Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika pada abad ke 18. Ketika menjelaskan gelombang baru ini, Huntington menyebut bahwa demonstration effect merupakan salah satu penyebab penting yang melahirkan gairah demokrasi di berbagai negara. Informasi tentang peristiwa politik di suatu negara dapat menyebar secara cepat ke negara-negara lain sehingga dampaknya tidak cuma dirasakan oleh penduduk satu negara, pemikiran seorang ahli politik atau naskah pidato seorang pejuang demokrasi diakses oleh orang-orang di tempat yang berlainan seolah mereka sedang mendengarkan ceramah itu langsung di hadapan mereka.
Tidak mengherankan jika kemudian muncul ‘efek meniru’ apa yang dilakukan oleh pihak lain di tempat yang berbeda. Gelombang demokratisasi pun kemudian meluncur bak bola salju yang menggulung pikiran-pikiran sempit penguasa otoriter. Namun demikian, penting untuk dipahami bahwa demonstration effect dalam demokratisasi sesungguhnya bukan fenomena yang sama sekali baru. Kita bisa menilik bagaimana gerakan menuntut diakuinya hak politik kaum perempuan (suffragette) di Eropa dan Amerika Serikat pada abad kesembilanbelas saling memengaruhi. Dalam The Subjection of Women, yang terbit pada 1869, John Stuart Mill antara lain menyebut upaya-upaya yang dilakukan oleh mereka yang memperjuangkan hak pilih kaum perempuan di Amerika Serikat, Rusia, Itali, Prancis, dan Swiss demi mendorong masyarakat Inggris untuk berupaya lebih keras untuk memperjuangkan hal yang sama.
            Berkembang dan menguatnya demokratisasi di berbagai di belahan dunia tersbeut yang menurut Gustavo Esteva dan Madu Suri Prakash pasca pasca perang dingin dan kemenangan idiologi kapitalisme, sebagai proyek global. , yakni kampanye besar-besar oleh negara-negara industri maju atau kapitalis Barat (yang mencap dirinya sebagai “negara-negara demokratis”) untuk meyakinkan seluruh dunia bahwa pilihan terakhir danterbaik bagi masa depan semua negara di dunia adalah tunduk pada hukum-hukum ekonomi pasar bebas yang kapitalistik dalam kerangkan sistem politik “demokratis” ala Barat.
Dalam konteks ini, Gustavo dalam tulisannya : “Demokrasi radikal; Otonomi Lokal, Bukan Globalisasi”, mengajukan kritik tajam dan mendalam terhadap tiga pilar, sekaligus Proyek Glbalisasi, yang kini disebarkan keseluruh dunia, yakni (a). konsep otoritas dan otonomi “pribadi perseorangan” (individual self), (b). konsep universalitas “hak azazi manusia” (human rights), (c). konsep “kemajuan” pembangunan (development). Para penganjur “proyek globalisasi”, yakin bahwa tiga mitos tersebut ini yang akan menjadi “masa depan dunia”, dan merupakan sebuah keniscayaan, sehingga yang menolaknya akan tergilas habis oleh roda sejarah ((Jurnal Ilmu Sosial Transformatif “Wacana”, No. II, 1999:25).
Proyek Globalisasi dan demokratisasi liberal yang mengagungkan “kebebasan”, kenyataanya justru menghapuskan struktur-struktur politik lokal yang mampu bertahan dalam rezim colonial dan rezim represif lainnya. Pembebasan yang diusung demokrasi liberal telah menghapuskan otonomi lokal dan menggantinya dengan negara demokratis modern yang sentralistik.  Inilah salah satu kritik tajam atas lahirnya liberalsasi politik yang terjadi di negara-negara berkembang dan menimbulkan kritik-kritik lainnya dari berbagai pemikir politik yang skeptis terhadap “obat mujarab” globalisasi dan demokratisasi dengan semangat universalitas dan keseragaman dalam bingkai sistem politik dunia.
Kritik atas demokrasi liberal
Secara etimologis, demokrasi sejatinya mengandung unsur problematis. Definisi yang umum “ pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, ia adalah definisi yang terlalu normative, bukan definisi yang betul-betul mengacu pada sebuah entitas riil. Ini karena kenyataanya rakyat tidak memerintah. Kadang-kadang, dalam praktiknya, bahkan rkayat dalam demokrasil juga tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Dalam sejarahnya (sejak Yunani kuno), praktik demokrasi bukanlah demokrasi yang sejati. Ia produk demokrasi abad 20, yang lebih mengedepankan dan mengangungkan aspek demokrasi prosedural (Saiful Munjani,”Demokrasi” dalam Membela Kebebasan; Percakapan tentang Demokrasi liberal, Fredeem Institute, 2006). 
Globalisasi dan demokratisasi yang mengagungkan liberalisasi politik yang dihembuskan oleh negara-negara maju ke berbagai belahan dunia, terutama ke negara-negara berkembang atau non demokrasi, bermimpi akan melahirkan kesejahteraan bersama (collective welfare), melahirkan tatanan politik yang demokratis bagi kesejahteraan dan kemajuan suatu bangsa sebagaimana yang terjadi di negara-negara maju. namun pada kenyataanya, yang terjadi jusru pemeliharaan kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, konflik-perpecahan sosial-politik, dan bahkan melahirkan semangat dan kesadaran politik sparatisme di berbagai negara.
Banyak kritik terhadap pandangan demokrasi liberal. Kritik tertua datang dari paham sosialisme, yang memandang bahwa kompetisi bebas seperti yang dibayangkan oleh kaum liberal memang tidak terjadi, karena tidakadilan basis material dan struktur yang pasti melahirkan yang dikalahkan dan yang dimenangkan, bahkan sebelum berkompetisi, si pemenang sudah bisa ditebak. Dengan kata lain, jika kita mendekati dengan teori Marx, ada ketimpangan politik struktural antara ketika kompetesi –yang menjadi salah satu ruh politik liberalism- antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang atau miskin, antara pemilik kapital ekonomi dan politik dengan negara non pemilik kapital dan akses politik. .
Kritik datang juga dari faham demokrasi radikal yang berkembang di Amerika pasca perang dingin. Selain mengkritik kaum neo-liberal, mereka juga mengkritik paham strukturalis Marxian yang memiliki kecenderungan determinisme ekonomi dan kelas. Pandangan mereka sering diasosiasikan sebagai pandangan kulturalis atau poststrukturalis, yang berasumsi bahwa otoritairanisme dari kapitalisme akan dihentikan oleh berkembangnya partisipasi rakyat itu sendiri. Paham kulturalis ini banyak mengacu pada pemikiran Gamsci. Oleh karena itu gerakan demokrasi adalah gerakan untuk meakukan konter hegemony terhadap idiologi dominan, dan yang memingkinkan terjadinya “transformasi sosial” yang melibatkan proses kritik atas idiologi dominan.
Kritik atas demokrasi juga datang dari Chantal Mouffe, yang mengatakan kemenangan demokrasi muncul sesudah rangkaian peristiwa keruntuhan Eropa Timur (baca: Uni Soviet), maka pertanyaanya yang kini muncul adalah mampukah demokrasi mengakomodasi keunggulan-keunggulan paham komunisme. Masalah keseteraan dan keadilan menjadi persoalan Sirius dalam paham demokrasi liberal. Gustavo Esteva dan Madhu Suri Parakash bahkan menantang secara teoritis keampuhan paham demokrasi. Dampak buruk demokrasi seperti ketidakdilan dan hapusnya struktur plitik lokal telah menghadirkan gerakan perlawanan. Gerakan yang hendak menghapuskan keberadaan struktur authoritarian ini sekaligus akan mengorganisir kekuatan rakyat bagi tampilnya struktur politik yang merupakan implementasi dari demokrasi yang riil.
Kritik cukup keras datang dari Pemimpin Muamar Qadhafi dalam tulisannya tentang Menyingkap Watak Dikatator dalam Mitos Demokrasi. Konsep demokrasi yang menampung gagasan pendirian partai, pemilu dan parlemen mendapat tantangan sekaligus sindirian keras. konsep partai hanya memunculkan sekumpulan orang yang mengatasnamakan rakyat untuk meraih tujuan demi kepentingan sendiri. Tentang pemilu disebut sebagai gagasan yang membodohkan karena rakyat memilih wakil yang tidak pernah diketahui, baik asal-usul maupun gagasannya. Kemudian tentang parlemen, Qdafi menyatakan, hanya embaga yang mengumpulkan lapisan masyarakat tertentu untuk menyetuji kebijakan publik yang dikesankan demokratis (Jurnal Ilmu Sosial Transformatif “Wacana”, No. II, 1999, hal. 7).
Globalisasi menjadikan demokratisasi menjadi pilar dari political liberalism dan pasar bebas (market forces) sebagai pilar yang saling menguatkan satu sama lain. Karena itu, demokrasi tidak seiring dengan kesejahteraan, namun seiring dengan penguasaan aset oleh para pemilih modal.
Ambil contoh di Amerika yang sering dianggap banyak orang sebagai negara yang praktik demokrasinya paling maju, sistem politiknya terbuka dan semua orang bebas bicara. Bukankah yang namanya capital (harta) sangat menentukan jalannya sistem pemerintahan di sana? Jangan bermimpi untuk menjadi anggota Senat, Kongres, atau menjadi Presiden kalau tidak punya jutaan dolar; atau paling tidak, ada jutawan yang mem-backing-nya. Tidak bisa dipungkiri, man behind the gun pemerintah Amerika sebenarnya para pemilik modal besar, konglomerat, dan orang-orang kaya, yang bisa menentukan siapa yang harus duduk di kursi penguasa. Munculnya skandal-skandal politik dalam kampanye (money politics) akhirnya tak dapat dihindari. Belum lagi policy mereka terhadap komunitas Indian, orang-orang kulit hitam (negro), keturunan Amerika Latin (hispanik) yang menempatkan mereka pada—meminjam istilah Amien Rais—sub-human, warga kelas dua. Tidak ada persamaan hak dan keadilan bagi mereka. Belum pernah ada sejarahnya pemangku jabatan presiden Amerika berasal dari penduduk asli benua Amerika. Demokratiskah Amerika?
Karena itu, tidak aneh kalau pengkritik demokrasi seperti Gatano Mosca, Clifrede Pareto, dan Robert Michels cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya, dalam demokrasi yang berkuasa adalah sekelompok kecil atas kelompok besar yang lain. Seperti di Indonesia, meskipun mayoritas, kaum Muslim berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Indonesia lebih didominasi oleh kelompok minoritas terutama dalam hal kekuasaan (power) dan pemilikan modal (capital).
Banyak kalangan menganggap bahwa Parlemen adalah tulang punggung demokrasi. Sebenarnya parlemen bukanlah perwakilan rakyat yang benar sehingga solusi yang salah arah jika parlemen dianggap jawaban bagi persoalan demokrasi. Semula parlemen diniatkan pendiriannya untuk mewakili rakyat, mesti pada kenyataannya parlemen sering melakukan tindakan sewenang-wenang atas nama rakyat. Terbukti keberadaan parlemen meniadakan sama sekali perwakilan rakyat, padahal demokrasi sejatinya hanya ada melalui partisipasi rakyat, bukan sekedar aktivitas wakil rakyat. Kecerobohan dalam parlemen adalah pertama, tidak adanya mekanisme antara rakyat sebagai warga negara dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan, Kedua, parlemen telah merampas kekuasaan dan kedaulatan rakyat. Fakta yang paling Nampak, rakyat seringkali dimasabodohkan hanya dengan tampilan eksternal demokrasi, yakni Pemilu.
Standar ganda Demokrasi Barat  (Kasus Demokrasi Palestina)
            Kemenangan politik Gerakan Perlawanan Islam Palestina atau lebih di kenal dengan Harokah Al Muqowwamah Al Islamiyyah (HAMAS) dalam Pemilu di Palestina awal Januari 2006 mengejutkan dunia. Dalam Pemilu yang berjalan demokratis, HAMAS memperoleh kursi di parlemen sebanyak 76 dari 132 kursi yang tersedia. Sedangkan partai berkuasa, partai Fatah hanya memperoleh 43 kursi.
Dengan kemenangan mayoritas ini, HAMAS mengendalikan dan memimpin pemerintahan baru PalestinaKemenangan ini sangat tidak di duga baik oleh partai penguasa Palestina, partai Fatah pimpinan Mahmoad Abbas, Israel maupun dunia Barat, terutama Amerika Serikat (AS). Kemenangan HAMAS ini di anggap sebagai “ancaman” serius oleh lawan-lawan politiknya baik di dalam negeri maupun di dunia internasional, seperti Israel dan sekutu abadinya, AS.
Hasil demokrasi di Palestina saat ini mulai terancam. AS tidak mau menerima kemenangan dan kehadiran HAMAS dalam panggung politik Palestina. Berbagai upaya dilakukan AS untuk mengisolasi pemerintahan baru Palestina di bawah kendali HAMAS, salah satunya dengan melakukan embargo politik dan ekonomi. Embargo politik yang dilakukan AS yakni mendesak kepada negara-negara Barat dan Timur Tengah agar tidak melakukan hubungan kerjasama dengan pemerintahan baru Palestina.
Kampanye pemutusan hubungan dengan pemerintahan baru Palestina pun terus dilakukan AS dan sekutu-sekutunya ke berbagai negara. Dalam setiap kunjungannya ke beberapa negara Barat dan Timur-Tengah, AS tak lupa memasukan agenda kampanye tolak pemerintahan HAMAS. Dan AS terus menggalang dukungan politik ke beberapa negara di dunia, terutama di Uni Eropa dan Timur-Tengah dan mendesak Uni Eropa dan Negara-Negara Timtur Tengah tidak melakukan hubungan kerjasama dengan pemerinthan baru Palestina. Citra garis keras, terorisme juga sering kali dialamatkan dan dikampanyekan AS terhadap HAMAS untuk menyakinkan negara- negara Uni Eropa dan Timur Tengah.
Selain embargo politik, pemerintahan HAMAS saat ini juga ditekan dengan embargo ekonomi. AS dan Uni Eropa menghentikan seluruh bantuan ekonomi dan finansial kepada pemerintahan Palestina. AS juga mendesak agar negara-negara di Timur Tengah tidak memberikan bantuan ekonomi dan finansial kepada pemerintahan baru Palestina. Bahkan AS dan Uni Eropa sudah memblokir semua bank-bank di Eropa dan Timur Tengah yang mentrasfer uang kepada Palestina.
Blokade ekonomi AS dan sekutu-sekutunya ini telah menyebabkan kelumpuhan sosial-ekonomi yang begitu memprihatinkan. Kelaparan dan penderitaan warga terjadi di mana-mana. Kas pemerintah Palestina sendiri saat ini juga dalam kondisi kosong dan bahkan mengalami defisit $180 juta. HAMAS justru mewarisi hutang pemerintahan sebelumnya sebesar Rp 1,3 milyar dollar. Pada saat yang sama gaji pegawai negeri saja mencapai 118 juta dollar per bulan untuk 140 ribu pegawai. Bahkan transfer uang bulanan dari pajak yang dipungut pemerintahan Israel sebesar Rp 50 juta dollar, yang seharusnya menjadi hak rakyat Palestina, sudah dihentikan.
Bahan makanan sehari-hari seperti susu, roti, sayur-sayuran dan bahan makanan lainnya sangat sulit ditemukan di seluruh wilayah Palestina. Sementara itu, setiap hari rumah sakit di Palestina terus menerima korban luka kritis dari aksi invasi militer Israel yang tak pernah berhenti. Pendek kata, pemerintahan baru HAMAS saat ini dalam kondisi tekanan politik dan ekonomi yang begitu memprihatinkan. Namun demikian, HAMAS tetap pada pendiriannya, yakni tidak akan mengakui Israel sebelum Israel membebaskan tanah-tanah Pelestina yang dirampok.
            Sebenarnya AS lah yang pertama kali memberikan peluang demokrasi kepada Palestina, yakni dengan diadakannya pemilu yang berjalan secara demokratis. Tapi, setelah proses demokrasi berjalan dengan baik dan dimenangkan kelompok HAMAS, justru AS lah yang pertama kali juga berusaha menghancurkan demokrasi di Palestina. AS tidak bisa menerima kehadiran politik HAMAS di panggung politik Palestina yang notabenenya berseberangan dengan salah satu sekutu abadinya, Israel.
            Sikap dan tindakan politik AS merupakan bentuk nyata dari standar ganda yang selama ini dipraktikkan AS. AS yang mengklaim dirinya sebagai kampium demokrasi dan gembar-gembor bicara demokrasi di seluruh dunia, namun ketika proses demokrasi (baca: Pemilu) itu dimenangkan kelompk Islam, AS tidak mau menerimanya. Bahkan berusaha untuk menghancurkan. AS mau mengakui dan bahkan membantu negara-negara yang menerapkan demokrasi jika proses dan hasil demokrasinya (baca: Pemilu) sesuai dengan kemauan dan kepentingan AS, jika tidak sesuai dengan kepentingan AS , maka AS akan menolaknya dan tidak segan-segan menghancurkannya.
Sikap dan tindakan politik AS terahdap Palestina ini sama dengan kasus nuklir Iran. Iran juga mendapat perlakuan tidak adil dari dunia yang dimotori oleh AS. Iran  terus mendapat tekanan politik, ekonomi dan bahkan keamanan (baca: militer) dari AS dan sekutu-sekutunya. Bahkan AS mengancam akan “mengiraqkan” Iran yang dinilai balelo dengan kemauan AS. AS merasa ketakutan (paranoid) jika ada negara-negara lain di dunia ini, apalagi negara Islam- memiliki program nuklir. Program nuklir Iran di nilai akan mengancam eksistensinya sebagai negara super power. Padahal jika mau fair, AS dan sekutu abadinya, misalnya Israel sendiri, juga memiliki program dan senjata nuklir yang berbahaya bagi keselamatan masyarakat dunia, tapi mengapa dunia internasional tidak mengecamnya.
Sebut saja Israel yang memiliki senjata pemusnah massal yang sering digunakan untuk memusnahkan warga Palestina sejak tahun 1948. Mengapa negara Yahudi ini tidak di tindak sama sekali, apalagi di kecam. Yang terjadi justru dunia internasional, yang dalam hal ini diwakili AS dan negara-negara Barat- membiarkan pemusnahan warga Palestina oleh Israel yang didukung AS bertahun-tahun.  PBB yang diharapkan bisa berbuat banyak, juga sama saja. PBB membiarkan AS dan Israel berusaha menghancurkan Pelestina.
            Keatidakadilan dunia yang dimotori AS dan sekutunya tidak hanya pada kasus Paletisna dan Iran, tapi juga pada kasus Iraq. Dunia diam ketika AS dengan arogan dan tanpa alasan menghancurkan rezim Iraq Saddam Husein. Iraq dihancurkan AS dan sekutunya karena dituduh memiliki senjata pemusnah massal, padahal dalam kenyataan tidak memiliki sama sekali. Begitu juga, ketika Israel menghancurkan Palestina, AS dan negara-negara Baratpun diam seribu bahasa. Dunia tidak mengecam sama sekali tindakan agresi militer Israel terhadap negara berdaulat Palestina. Bahkan AS dan negara-negara Barat memberi dukungan politik dan keamanan (baca: persenjataan) kepada Israel dalam skenario penghancuran Palestina. Di sinilah nampak sekali ketidakadilan dunia yang dimotori AS dan negara-negara Barat atas negara-negara Islam, tak kecuali Palestina.
            Palestina adalah negara yang berdaulat yang saat ini sedang terancam, baik dari segi sosial, politik, ekonomi dan keamanannya oleh kekuatan politik dunia yang dimotori AS dan Uni Eropa. Karena itu, sudah menjadi kewajiban politik dan ekonomi bagi negara-negara di dunia, terutama dunia Islam untuk membantu rakyat dan pemerintahan Palestina, baik dalam bentuk bantuan keuangan, politik dan diplomasi. Perlu adanya solidaritas dan gerakan internasional negara-negara muslim di dunia untuk bersama-sama mendesak AS dan sekutunya menghormati dan mengakui proses demokrasi di Palestina. Kita selamatkan demokrasi di Palestina, selamatkan Palestina (rakyat dan pemerintahannya) dari ancaman AS dan Uni Eropa yang berusaha menghancurkannya.
Demokrasi dan Kesejahteraan; Kasus Indonesia
Menurut, pengamat ekonomi politik dari IPB,  Didin S Damanhuri, secara teoritis, setidaknya ada empat kategori di dunia dalam hubungan antara demokrasi politik dan kesejahteraan ekonomi rakyat. Pertama, bersamaan dengan sukses demokratisasi politik juga diikuti oleh tingkat kesejahteraan ekonomi rakyat yang signifikan seperti dipertotonkan oleh negara-negara Barat. Meski harus diberi catatan bahwa kemakmuran mereka tak lepas dari politik kolonialiame dan imperalisme terhadap negara berkembang di masa lalu disamping standar ganda yang tak demokratis di tingkat hubungan internasional vis-a-vis Negara berkembang sekarang ini. Di luar negara-negara Barat tersebut, juga terdapat Jepang, Turki, dan negara-negara industri baru Asia (Korea, Malaysia, dan Thailand).
Kedua, negara-negara yang tak demokratis secara politik namun tingkat kesejahteraan ekonomi rakyatnya relatif tinggi dan merata seperti diperlihatkan Cina dan Singapura. Ketiga, negara-negara yang tradisi demokrasi politiknya maju namun kesejahteraan ekonomi sebagian besar rakyatnya rendah seperti dicontohkan India dan Filipina serta banyak negara-negara Amerika Latin. Keempat, negara yang demokrasi politik dan kesejahteraan ekonomi rakyatnya buruk dan rendah seperti yang terjadi di Pakistan, Bangladesh, dan hampir semua negara-negara Afrika (Republika, 10 Mei 2005).
            Dalam konteks Indonesia, ini yang kemudian menimbulkan perdebatan publik, apakah demokrasi berkorelasi positif atau (justru) negatif terhadap dengan kemakmuran atau kesejahteraan. Ini setidaknya pernah muncul ketika ada dialoge today edisi khusus di Metro TV 1 dan 2 Januari 2008. Ada salah seorang peserta diskusi mengemukkan, “gerak reformasi kita sudah berjalan 10 tahun, namun reformasi dan demokrasi yang kita usung dan perjuangkan belum menghasilkan sesuatu yang berharga, terutama kesejahteraan bagi rakyat”. Selama 10 tahun kita hidup dengan demokrasi. Namun demokrasi itu belum mampu memberikan kehidupan atau menghidupi rakyat. 
Dalam perspektif kelompok pesimis dan skeptis, demokrasi yang diharapakan mampu memberikan kesejahteraan, namun praktiknya justru membawa kesengsaraan rakyat. Kita sudah terlalu lelah hidup dengan demokrasi. Demokrasi telah menguras energi masyarakat, terutama energi materiial. Selama satu dekade ini sudah puluhan triliun rupiah uang rakyat terkuras habis untuk demokrasi yang mewujud dalam dua kali Pemilu dan ratusan Pilkada (gubernur dan bupati)[11]. Uang ratusan triliun tersebut seperti tidak membekas dalam kehidupan rakyat. Kondisi rakyat kita (baca: kesejahteraan) bukannya semakin membaik, justru semakin memburuk.
Kelompok pesimis menunjukkan dengan data-data statistik selama satu dekade ini. Sebut saja misalnya; angka kemiskinan meningkat, pengangguran meningkat, putus sekolah meningkat, kelaparan meningkat. Kualitas hidup masyarakat terus mengalami keterpurukan. Bagi kalangan optimis; demokrasi berkorelasi atau berpotensi bisa melahirkan kesejahteraan. Tapi dengan catatan harus ada kesabaran sosial-politik.
Memang demokrasi membutuhkan sebuah proses dan waktu agar melahirkan kemakmuran. Namun, dengan melihat realitas saat ini, sampai kapan rakyat ini harus menunggu?. Selama 10 tahun, rakyat sudah begitu lelah, dan bahkan kehabisan energi dan kesabarannya dengan “janji-janji dan harapan manis” dari demokrasi. Demokrasi selama ini benefitnya hanya melahirkan kebebasan saja, tapi belum memberikan keberkahan sosial dan ekonomi bagi masyarakat. Dengan kata lain, keberkahan demokrasi adalah kebebasan, lainnya bencana.
Menurut kalangan optimis, menyatakan setidaknya harus ada prasyarat atau empat modal yang harus dipenuhi pemerintah agar demokrasi berjalan dengan baik dan melahirkan kemakmuran, yakni modal fisik (fisic capital), modal SDM (human capital), modal sosial (social capital), modal politik (political capital). Namun kalangan optimis terlalu teoritis, tak cukup membumi atau tak melihat kondisi realitas psikologis sosial-politik kehidupan masyarakat. Realitasnya, kehidupan demokrasi kita selama 10 tahun ini terus mengalami defisit. Praktik korupsi yang melibatkan para elit politik negeri ini, mulai dari pusat sampai daerah dan berbagai persoalan bangsa lain seperti konflik-konflik sosial menunjukkan defisitnya demokrasi. Demokrasi defisit melahirkan kehidupan masyarakat yang terpuruk (baca: kesejahteraan semakin berkurang).
            Secara teoritis, kesejahteraan biasanya bisa tumbuh subur dalam negara yang menerapkan sistem pemerintahan yang otoriter, bukan demokrasi. Meskinpun tidak ada kebebasan, namun mampu menghadirkan kesejahteraan. Malaysia, Singapura, dan negara-negara Timur Tengah, termasuk Indonesia di bawah rezim Seoharto adalah contohnya. Namun bagaimanapun juga- terlepas dari keburukan-keburukan rezim Soeharto-, hadirnya pemerintahan yang otoritarian harus diakui telah memberikan tingkat kesejahteraan ekonomi rakyat, meskinpun tidak ada kebebasan berpolitik. Jika mau pertumbuhan ekonomi baik dan kesejehteraan hadir di tengah masyarakat, maka hadirnya pemerintahan “otoritarian” yang berpihak pada kepentingan publik adalah jawaban yang patut dipertimbangkan kembali..
            Terlepas banyak kekurangan dan kelemahan dalam sistem pemerintahan otoritarian, namun Orba mampu menghadirkan tingkat kesejahtaraan rakyat yang cukup memadai. Sebaliknya jika kita ingin demokrasi maka yang akan muncul adalah pertumbuhan ekonomi yang lambat, karena perlu (waktu) untuk kompromi. Dan secara teoritis dan praksis, dalam negara-negara berkembang yang menganut sistem demokrasi, pertumbuhan ekonominya sangat lambat. Karena di sana banyak dialog, kompromi, dan kompensasi. Dan ini yang kita rasakan saat ini, ketika kita memilih demokrasi, pertumbuhan ekonomi kita sangat lambat dan konsekwensinya tingkat kesejahteraan rakyat rendah. Angka kemiskinan melambung, penganguran naik, beras mahal, minyak mahal, pendidikan mahal, dan problem sosial lainnya yang sampai saat ini masih menjadi teman setia masyarakat kebanyakan.
Bahkan demokrasi seperti sekarang telah melahirkan problem politik baik di tingkat elit maupun masyarakat. Konflik dan perpecahan elit sipil parpol yang terus menjadi konsumsi harian rakyat sebenarnya telah menghancurkan semangat dan prinsip-prinsip demokrasi. Negeri ini telah hidup demokrasi, tapi masih dalam tahapan demokrasi prosedural. Hal ini ditunjukkan dengan hadirnya lembaga-lembaga politik formal. Namun kita belum sampai pada demokrasi yang substansial. Artinya nilai, semangat, budaya dan prinsip-prinsip demokrasi bukan hanya sekedar wacana harian, tapi menjadi bagian dari perilaku dan perbutan keseharian kehidupan politik para elit politik kita. Demokrasi substansial ini yang sampai saat ini masih nihil.
Dengan kata lain, ini adalah sebuah pilihan politik masyarakat dan negara. Apakah kita mau demokrasi dengan konsekwensi pertumbuhan ekonomi lambat dan karenanya kesejahteraan rakyatpun lambat berkembang atau kita mau dengan otoritarian dengan jaminan politik kesejahteraan rakyat berkembang namun kebebasan politik dibatasi. Ekstrimenya, mau demokrasi, tapi rakyatnya lapar atau otoritarian dengan jaminan rakyat kenyang.
  Demokrasi yang diharapkan menghadirkan kesejehtaraan rakyat, justru di bajak oleh elit-elit Parpol. Munculnya PP 37/2007 merupakan salah satu manifestasi pembajakan demokrasi oleh elit. Masyarakat dibiarkan bahkan di paksa makan aking, lantaran tak mampu beli beras karena harganya melambung. Dengan kata lain, masyarakat kebanyakan (baca: masyarakat miskin) sudah mulai berprasangka buruk terhadap hadirnya demokrasi. Faktanya dengan demkorasi seperti saat ini rakyat lapar, biaya pendidikan mahal, cari kerja susah dan berbagai kesulitan hidup lainnya. Pikiran politik pragmatis masyarakat akhirnya muncul ; apapun sistem pemerintahannya yang penting rakyat kenyang. Bahkan mungkin masyarakat jika di suruh memilih, maka akan cenderung pilih otoritarian dengan jaminan kesejahteraan daripada demokrasi (kebebasan) tapi rakyat lapar. Dan ini yang dipraktikkan di beberapa negara-negara berkembang yang menganut sistem pemerintahan otoritarian, rakyat cukup sejahtera, termasuk indonesia di bawah rezim militer Orba.
Bagi rakyat, apapaun sistem pemerintahannnya bukan menjadi persoalan prinsip, yang terpenting adalah bagaimana kesejahteraan bisa hadir nyata dalam kehidupan masyarakat. Apakah itu demokrasi atau otoritaran. Jika otoritarian dapat menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat, mengapa harus ditolak. Justru yang kita tolak adalah ketika demokrasi menghadirkan kemiskinan bagi masyarakat.
Globalisasi, Demokratisasi, dan Sparatisme di Indonesia
Arus globalisasi dan demokratisasi tidak mengenal ruang dan waktu, dan bahkan tak mengenal sasaran negara. kuatnya arus globalisai dan demokratisasi tersebut “memaksa” peran politik negara untuk melindungi kedaulatan politik nasional. Namun meskinpun telah dibuat berbagai regulasi untuk menguatkan kedaulatan politik nasional, namun bukan berate arus globalisasi dan demokratisasi tidak menyeruak ke akar rumput.
Gairah berdemokrasi justru semakin menyeruak di berbagai daerah di Indonesia. Daerah-daerah yang selama ini menjadi “korban politik dan ekonomi” pusat, semakin mendapatkan momentumnya untuk bereaksi dan beraksi sesuai dengan kesadaran politik dan politik identitasnya yang dimilikinya. Dengan kata lain, politik identitas di berbagai daerah semakin menguat seiring dengan arus globalisasi dan demokratisasi. Contoh yang paling ekstrem adalah, munculnya berbagai gejolak politik dan bahkan gerakan sparatisme yang mengatasnamakan “kebebasan politik dan demokratisasi”.
Masyarakat menginginkan ruang kebebasan berekspresi dan berpolitik. Negara harus memberikan ruang kebebasan bagi warganya untuk berserikat. Virus demokrasi liberal yang diusung mesin globalisasi benar-benar ditangkap oleh masyarakat yang pada saat yang sama telah mengalami proses depolitisasi dari negara yang otoritarian. Dengan kata lain, globalisasi dan demokratisasi telah memberikan dampak yang cukup signifikan bagi tumbuhnya kesadaran berpolitik dan berdemokrasi, apalagi demokrasi yang diusung adalah demokrasi liberal.
[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[p[
Produk Demokrasi Global
Gerakan politik dari sekelompok orang yang menginginkan “kemerdekaan” terus berkembang dan semakin menguat sering dengan semakin kuatnya arus globalisasi dan demokratisasi yang disemburkan oleh negara-negara maju. Indonesia punya pengalaman pahit, dengan lepasnya Timor-Timur. Aceh pun nyaris lepas dan bernasib sama seperti Timor-Timur namun terselamatkan dengan kebijakan otonomi khusus. namun demikian, tidak menghilangkan substansi dan ruh politik Aceh yang digawangi oleh mantan sparatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tampilnya gubernur Irawadi Yusuf-Nazarudin, merupakan “symbol” politik kemenangan GAM.
Gerakan sparatisme di Indonesia semakin meluasnya dengan kembalinya Papua bergejolak. Gerakan sparatisme Gerakan Papua Merdeka, masih memiliki pengaruh kultural dan politik domestik dan internasional. Gerekan Papua Mereka semakin hari bukan semakin menyusut, justru semakin bersemangat dan militan untuk merdekan. Solusi Pusat berupa kebijakan otonomi khusus buat Papua, ternyata tidak menyurutkan kelompok gerekan sparatisme Papua untuk terus berjuang mendapatkan kemerdekaannya.  Bahkan riak-riak kecil sudah mulai menjalar ke beberapa daerahlainnya.
Yang menjadi pertanyaan, fenomena politik apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Indonesia, mengapa mengapa GAM atau Papua Merdeka sangat berambisi untuk merdeka? Tuntutan dan ambisi politik gerakan sparatisme untuk merdeka bukan sekedar karena kekecewaannya terhadap pemerintajh pusat yang berlaku tidak adil. Dalam konteks politik global, munculnya riak-riak sparatisme berbagai negara seperti di Philipina, Pakistan, India, dan termasuk di Indonesia bukanlah kasus yang berdiri sendiri. Ia adalah produk dari adanya liberalisasi politik secara global dan produk dari makin menggeliat tumbuhnya tuntutan demokratisasi secara global.
            Anthony Giddens dalam bukunya Runaway World (1999) mengatakan globalisasi menjadi alasan bagi kebangkitan kembali identitas budaya lokal di berbagai belahan dunia. Jika Orang-orang bertanya, misalnya, mengapa orang-orang Skotlandia menginginkan kemerdekaan yang lebih besar di Kerajaan Inggris, atau mengapa ada gerakan separatis yang kuat di Quebec, jawabannya tidak ditemukan hanya dalam sejarah kebudayaan mereka. Nasionalisme lokal merebak sebagai respon terhadap kecenderungan globalisasi, seiring dengan melemahnya negara-negara lama
Setelah tumbangnya rezim-rezim sipil dan militer yang otoriter, maka mulai muncul dan tumbuh berkembang wacana demokratisasi dalam skup global. Wacana demokrasi menjadi primadona suatu negara dalam menjalankan sistem pemerintahannya. Demokrasi tumbuh di mana-mana bagaikan tumbuhnya jamur di musim hujan. Wacana demokrasi merupakan antitesa terhadap rezim otoriter suatu negara. Survey Freedom House 1991-1992, menunjukkan secara menyakinkan tumbuhnya demokrasi di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Asia (Chan Heng Chee, 1993;159). Lalu kita juga bisa memperoleh “kesaksian-kesaksian tangan pertama” tentang episode demokratisasi di negara-negara berkembang – di Argentina, Fhilipina, Chile, Nigeria, Sudan dll- dari para pejuang demokrasi di negara-negara itu (Larry Diamond, ed, Democratic Revolution: Struggle for Freedom and Pluralism in The Developing World, 1992) .
            Kondisi perubahan sejarah secara dramatis tersebut (otoriter ke demokrasi) apa yang dikatakan Samuel P. Huntington dalam The Third Way (1991) sebagai “gelombang ketiga demokratisasi”. Robert Dahl dalam Democracy and Its Critics (1989), menyebutnya dalam istilah lain: “transformasi demokrasi ketiga”. Sinyalemen akan menyebarnya wacana demokratisasi ini pernah diungkapkan seorang futuris terkenal berkebangsaan Jepang, Francis Fukuyama melalui bukunya yang cukup fenomenal The End of history and The Last Man  (1992). Fukuyama  menggambarkan menyebarnya virus demokrasi keseluruh pelosok bumi dan berkibarnya tanda-tanda kemenangan demokrasi liberal. Menurut Fukuyama, terbentuklah “abad demokrasi” dan sejarah peradaban pun telah berakhir (the end of history)          
            Hal senada juga diungkapkan oleh John Naisbitt dalam bukunya yang monumental Global Paradox (1994), mengatakan bahwa suatu saat akan terjadi penyebaran demokrasi global. Namun berbeda dengan Fukuyama yang mengajukan teori the end of history, Naisbitt mengajukan teori the end of politics (hlm. 39). Menurut Naisbitt, berkembangnya demokrasi justru membentuk sejarah baru: terpecah-pecahnya negara-bangsa menjadi unit-unit kecil. Demokrasi, di mata Naisbitt, justru membesarkan dan melipatgandakan keasertifan (penegasan) suku (hlm.16).
            Naisbitt pun meramalkan bahwa jika saat ini ada hampir 200 negara di atas bumi, menjelang tahun 2000 akan ada 300 negara, dan di masa yang akan datang angka ini akan membengkak menjadi 1000 negara. Secara sinikal, Naisbitt menyebut ide negara dan perbatasan merupakan ide yang tidak relevan lagi di tengah era keterbukaan dan globalisasi.
            Atas dasar inilah Naisbitt sampai mengeluarkan satu hipotesa: semakin besar demokrasi, semakin banyak negara, semakin kecil bagian dari ekonomi global. Inilah yang dinamakan sebuah paradok global. Paradok global ini memberi peluang kepada ummat manusia untuk mengekspresikan diri secara individual; peluang yang jauh lebih besar dibandingkan dengan masa manapun dalam sejarah ummat manusia  -begitu tesis utama Naisbitt. Pendek kata, demokrasi yang mengglobal membawa konsekwensi pada rawannya faham sparatisme suatu negara. Maka semakin tumbuh suburnya unit-unit (negara) kecil dalam konteks ini tak dapat dielakkan. Tak terkecuali ketika kita melihat kasus tuntutan Aceh untuk merdeka. Dengan kata lain, tuntutan Aceh referendum untuk merdeka adalah sesuatu yang wajar dalam kaca mata wacana demokrasi. Demokrasi sangat menghormati dan menghargai kemerdekatan tiap individu maupun kelompok dalam mengekspresikan dirinya, baik secara ekonomi maupun politik.    .
            Ramalan dua futuris di atas adalah tidak terlalu berlebihan apabila kita mencermati berbagai tuntutan referendum/merdeka yang terjadi di belahan dunia tak terkecuali daerah-daerah di Indonesia. Timor-Timur dapat dikatakan merupakan salah satu korban dari ramalan tersebut. Apakah Aceh juga akan menjadi korban selanjutnya ?

Liberalisasi Politik
            Secara faktual, berbagai bentuk resistensi yang dimotori oleh GAM atau Papua Merdeka dan kejadian-kejadian politik dan kekerasan (baca: merdeka dan atau gagasan referendum) yang mengiringinya adalah fakta akan munculnya indikasi sparatisme baru yang tak terbantahkan. Ini adalah realitas politik dan sekaligus pil pahit yang harus dihadapi dan diterima pemerintahan reformasi.
            Setelah Timor-Timur menjadi satu korban dari proses liberalisasi politik dan demokratisasi global, kembali, kini apa yang diramalkan kedua futuris di atas yakni mengenai bahaya sentrifugalisme (lepasnya) bagi bangsa-bangsa majemuk semacam Indonesia bisa saja terjadi, terutama di Aceh. Kasus Aceh dan Papua adalah pukulan telak kedua setelah Timor-Timur. Liberalisasi politik sebagai tuntutan global yang digulirkan bangsa Indonesia dengan ditandai demokratisasi disegala bidang, selain memberikan kontribusi positif bagi pembangunan bangsa, juga telah memberikan potensi adanya kerawanan politik di daerah, yakni bahaya sparatisme. Virus menakutkan ini sebenarnya bisa dihilangkan, apabila permasalahan daerah yang selama ini tidak mendapat perlakuan yang adil dari pusat diselesaikan secara menyeluruh. Misalnya masalah ketidakadilan di bidang sosial, politik, ekonomi dan hukum.  Kondisi ini akan menjadi bom waktu bagi pemerintah di masa yang akan datang, bila tidak ditangani secara serius.
            Dus, kasus Aceh, Papua dan beberapa daerah lainnya yang menginginkan referendum atau merdeka adalah merupakan cost (sosial-politik) yang harus dibayar pemerintah ketika menerapkan kebijakan liberalisaasi politik (baca: demokratisasi). Wacana demokrasi yang selama ini di anggap paling execelent dan menjadi primadona suatu negara akhirnya tidak hanya memberikan kontribusi yang konstruktif bagi pembangunan bangsa, akan tetapi dalam faham demokrasi itu sendiri juga mengandung virus yang sangat menakutkan, yakni virus sparatisme. Dengan kata lain, faham demokrasipun sangat potensial sekali dalam  memberikan kontribusi yang sifatnya destruktif (baca: virus sparatisme). Atau dalam istilah yang lain: demokrasi adalah bagaikan pisau yang bermata dua. Ia berpotensi melindungi dan sekaligus berpotensi membunuh. Hal ini sangat bergantung pada siapa yang memakainya.
C.    Konflik, Teror dan Kekerasan
Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
            Keberadaan konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Deng



0 komentar :

Posting Komentar