Globalisasi telah mengubah secara
dramatis kehidupan miliaran manusia di seluruh dunia. Berbagai dampak yang
ditimbulkan oleh gelombang globalisasi umumnya dapat dilihat secara kasat mata
melalui berbagai aksi demonstrasi atau protes-protes yang terjadi di seluruh
dunia ketika dilangsungkannya konperensi atau pertemuan tingkat tinggi
organisasi global semacam WTO, IMF dsb. Gelombang protes tersebut terjadi
karena mereka menganggap bahwa telah terjadi sejumlah masalah besar di seluruh
negara di dunia.

Globalisasi di sini diartikan sebagai proses integrasi ekonomi, politik,
sosial, dan budaya ke dalam ‘konstelasi pos-nasional’ dimana suatu komunitas
menghadapi kekuatan dan tantangan dari dinamika konstelasi tersebut (Habermas,
2001). Sedangkan Appadurai Arjun (1997) bahkan lebih jauh mengatakan
bahwa efek ambiguitas dari globalisasi telah memunculkan suatu “etnisitas baru”
khususnya dalam masyarakat trans-nasional yang menantang kondisi-kondisi
maupun praktek politik di suatu negara (wilayah lain). Misalnya melalui
kemunculan komunitas politik trans-nasional seperti international-NGO
atau perjuangan politik kelompok diaspora (seperti: Gerakan Aceh Merdeka,
atau Gerakan Papua Merdeka). Appadurai juga mengatakan bahwa efek ambigu dari
globalisasi telah memperluas bentuk-bentuk resistensi baik secara lokal maupun
yang bersifat global dikarenakan tidak semua kelompok dapat secara penuh
terlibat di dalam proses globalisasi. Hal ini misalnya kita temui dalam
munculnya kelompok-kelompok antiglobalisasi, kelompok-kelompok yang
memperjuangkan penghapusan hutang Dunia Ketiga dengan asumsi bahwa kemakmuran
Dunia Pertama diperoleh melalui penjarahan kolonialisme di Dunia Ketiga.
Globalisasi dalam perspektif sosiologi dapat dianalisis baik pada dimensi
ekonomi, kultural, politik maupun kelembagaan/institusi. Perbedaan utamanya
adalah apakah orang akan melihat semakin besarnya homogenitas atau
heterogenitas. Dalam perspektif politik, misalnya, yang ditekankan apakah
homogenitas ataukah heterogenitasnya. Dalam perspektif homogenisasi, pemikiran
Barber (1995) dianggap cukup terkenal dan paling “ekstrem”, yakni pemikirannya
tentang “McWorld” atau tumbuhnya orientasi politikk tunggal yang makin berkuasa
di seluruh dunia (Ritzer, dkk., 2009:635).
Makalah ini membahas globalisasi dalam perspektif politik pada 4 tataran
masalah, yakni Kebangsaan (nationhood), Teror dan terorisme, serta
politik identitas
A. Mengurai Kebangsaan Kita
Indonesia merupakan Negara kebangsaan tempat dimana kita merasa ada ikatan
alamiah satu sama lain, karena kita semua memakai bahasa yang sama bahasa
Indonesia, dan berada di tanah air yang sama tanah air Indonesia.
Wawasan itu telah membuat kita seolah-olah menjadi satu atau “komunitas yang
dibayangkan”, yaitu suatu komunitas yang sebenarnya secara fisik sulit
dibuktikan. Komunitas yang sebenarnya hanyalah khayalan dimana keberadaannya
secara fisik tidak terbentuk. Hanya atas dasar kesepakatanlah istilah
“nasional’ mendapatkan legitimasi sebagai sesuatu yang nyata.
Suatu nationhood adalah suatu kesatuan solidaritas sosial yang tinggi,
dimana individu dalam masyarakat, hidup saling percaya satu sama lain. Hubungan
soilidaritas itu bisa dijumpai tanpa pengaturan oleh aturan-aturan hukum yang
diadakan dan dipertahankan oleh sesuatu pemerintahan Negara.
Karena itulah rasa kebangsaan sebenarnya sudah ada jauh sebelum Indonesia
menjadi suatu Negara: karena rasa solidaritas tidaklah sama dengan hak-hak dan
kewajiban warga Negara seperti dinyatakan oleh undang-undang yang berlaku.
Namun, kebangsaan itu seolah menjadi suram ketika persoalan demi persoalan
terus melanda bangsa ini. Tidak hanya solidaritas kita sebagai bangsa besar
yang terganggu, namun juga kenyataan buruk yang dipertontonkan oleh para
pemimpin, pemerintah dan penegak hukum kita terhadap rakyatnya, apalagi melihat
perilaku mereka dengan ketidakadilannya, membuat kita agak miris melihatnya.
Kenyataan ini melahirkan satu
pertanyaan penting terkait dengan kebangsaan kita, yaitu masihkah kita merasa
bangga dengan bangsa ini? Pertanyaan ini penting untuk dijawab mengingat gejala
kehidupan akhir-akhir ini melahirkan pemahaman yang “agak miring” terhadap rasa
kebangsaan yang kita miliki. Pertanyaan ini bermula ketika ada tontonan vulgar
yang membuat kita cemas, sedih bahkan sedikit marah. Tontonan itu kita mulai
dengan perilaku penegak hukum kita. Apa yang kita lihat baru-baru ini
mengenai kasus hukum yang menimpa kaum lemah adalah bentuk ketidakadilan.
Rentetan kasus hukum itu bisa kita lihat dari kasus Bibit dan Candra yang
dianggap menyalahgunakan wewenang, harus merasakan perihnya hidup di penjara,
lalu kasus Prita Mulyasari yang hanya mengeluh atas pelayanan buruk yang dia
alami selama dirawat di salah satu rumahsakit swasta di Jakarta pada
teman-temannya di internet, harus merasakan bingungnya membayar Rp. 204 juta,
yang melahirkan gerakan koin peduli Prita. Belum lagi masalah lain yang
merongrong rasa keadilan kita. Bagaimana Ibu Minah (55 tahun) yang tidak
sengaja memetik tiga buah kakao di perkebunan PT Rumpun Sari, harus mendekam di
penjara selama 1 bulan 15 hari, dan kasus pencurian semangka oleh Basar (40
tahun) dan Kholil (51 tahun) di Kediri, harus menikmati pahitnya hidup
menyendiri selama 15 hari.
Sedangkan kasus Bank Century yang
jelas merugikan Negara, belum bisa diurai siapa yang bertanggungjawab di
belakangnya, justru terkesan “ada pembelaan politik” terhadap para pejabat yang
selama ini dianggap terlibat oleh publik. Sungguh ironis, hukum kita hanya
mampu menjerat yang lemah, dan tak mampu meringkus yang kuat dan berkuasa.
Kasus ini membuat kita bertanya,
inikah cara pemimpim dan penegak hukum kita menciptakan keadilan, kehidupan
tanpa diskriminasi, dan perlindungan bagi yang lemah? Mengapa hukum kita
menjadi kaku terhadap yang lemah, dan menjadi fleksibel bagi yang kuat? Dan
mengapa hukum kita semakin berjarak dengan keadilan? Pertanyaan ini tidaklah
berlebihan, sebab kita seringkali mendengar “tausyiah” dari para pemimpin kita
atas keberhasilnnya dalam menegakkan keadilan, kehidupan tanpa diskriminasi,
dan perlindungan bagi yang lemah. Jika “tausyiah” itu tanpa kemunafikan,
sejatinya kasus hukum yang menimpa anak bangsa tidak menjadi tontonan menyedihkan.
Akhirnya kita sadar bahwa apa yang
dilakukan oleh para pemimpin dan penegak hukum kita adalah cermin kebangsaan
kita selama ini. Tidak heran jika rakyat kita kecewa dan melahirkan gerakan
baru, atas nama rakyat dengan kekuatan people power-nya, seperti gerakan
fecebooker, gerakan turun ke jalan, dan gerakan koin untuk Prita.
Gerakan itu merupakan tanda atas kekecewaan pada penegak hukum kita. Penegak
hukum dan lembaga hukum kita hanya menjadi simbol kekuasaan yang tidak mampu
memberikan keadilan, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tontonan lain yang membuat kita malu
adalah perilaku pemerintah terhadap kaum miskin kota. Kita merasa sedih ketika
pemerintah memperlakukan mereka layaknya hewan liar, tanpa melihat sisi
kemanusiaannya. Bagaimana mereka diusir, rumah mereka dihancurkan, dagangan
mereka digusur dan mereka dibiarkan tanpa tempat tinggal dan penghasilan
sepeserpun. Mereka menjadi gelandangan yang tak tahu kemana arah hidup mereka,
mereka tidak tahu harus makan apa, dan mereka bingung harus minta pertolongan
pada siapa. Pemerintah hanya menjadi penjajah baru dalam hidup mereka. Bagi
mereka pemerintah adalah musuh yang membahayakan hidupnya, bahkan sewaktu-waktu
bisa melenyapkan keberadaannya.
Inikah bangsa yang merdeka?
Sejatinya bangsa yang sudah merdeka memberikan penghidupan yang layah bagi
rakyatnya, memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakatnya, dan perlindungan
yang lebih bagi kaum miskin kota, bukan penggusuran, pengusiran dan penghinaan
bagi mereka. Sungguh ini adalah kemunduran dan pembusukan bangsa kita.
Padahal kita sering mendengar
tentang kekayaan kita; sumber daya alam yang banyak, tanah yang makmur, minyak
yang melimpah, emas dimana-mana. Tapi kenapa kaum miskin kita berceceran
dimana-mana, gelandangan menjadi pemandangan di kota, kelaparan masih menimpa
rakyat kita, dan lebih aneh lagi, pemerintah kejam terhadap rakyatnya. Apa yang
salah dengan bangsa ini, ataukah karena keserakahan para pemimpin yang selalu
memakan uang rakyat kita. Inilah awal dari runtuhnya rasa kebangsaan ini.
Tontonan di atas telah melahirkan
kekecewaan yang luar biasa, rasa bangga kita terhadap bangsa ini sedikit
menjadi redup atas perilaku para pemimpin, pemerintah dan penegak hukum kita.
Cerita tentang semua kekayaan alam, dengan kebudayaan yang beragam, ditambah
bahasa daerah yang bermacam-macam, hanya menjadi cerita masa lalu yang tidak
memuaskan hidup kita masa kini.
Kenyataan itu juga membuat kita
merasa sedih dan perih. Kebanggaan yang dulu kita banggakan tidak lagi kita
rasakan hari ini. Kita hanya bangga dengan masa lalu kita, dengan cerita-cerita
indahnya, dan bangga kepada para pejuang kita, dengan cerita heroiknya. Kini
apa yang kita rasakan hanyalah kepedihan dari tontonan yang memilukan.
Karena itulah, para pemimpin kita
sejatinya mengoreksi kembali akan moralitas, mentalitas dan hati nurani mereka
dalam mengurus bangsa ini. Bangsa ini harus diurus dengan moralitas dan
mentalitas yang baik. Bangsa ini tidak bisa diurus layaknya perusahaan kecil
dengan seenaknya mengelola, dan hanya demi segelitir orang saja yang menikmati
hasilnya. Bangsa ini adalah bangsa yang besar dengan segala pernak-pernik
kekayaannya.
Untuk itulah, masih ada harapan
untuk membangun kembali rasa kebangsaan kita, harapan itu paling tidak dari
kemauan dan kesungguhan para pemimpin, pemerintah dan penegak hukum kita dalam
memperbaiki kinerjanya. Kepada siapa lagi harapan ini harus disampaikan,
kecuali kepada para pemangku bangsa ini. Mudah-mudahan harapan ini bisa membuat
mereka bercermin dengan keadaan hari ini, sehingga bisa merejuvenasi
rasa kebangsaan kita dimasa yang akan datang.
B.
Globalisasi dan Demokratisasi
Pada masa Perang Dingin (antara
1945-1989) tatanan dunia cenderung bersifat bipolar, yaitu antara kekuatan
liberal yang terutama diwakili oleh Amerika Serikat dan sekutunya dan kekuatan
komunis yang terutama diwakili oleh Uni Soviet dan porosnya. Dalam kurun
tersebut praktis para pemimpin di kedua kubulah yang dapat mempengaruhi arah
politik dunia. Pascapecahnya Uni Soviet, dunia tidak lagi semata ditentukan
oleh dua kekuatan di atas (Amerika Serikat vs Uni Soviet). Kini, aktor-aktor di
tingkat lokal pun dapat memberi warna pada lanskap politik dunia. Tidak
terbayangkan sebelumnya bahwa gerakan demokrasi di Polandia justru digerakkan
oleh para buruh pelabuhan di bawah kepemimpinan Lech Walesa, kita juga tidak
bisa menyebut satu per satu mahasiswa yang menjadi motor gerakan pro-demokrasi
di China, Korea Selatan, Indonesia, dan negara-negara lain. Meski demikian,
jelas bahwa gerakan perlawanan yang mereka gelorakan telah membawa dunia pada
suatu tahap baru yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dalam kaitan dengan globalisasi dan
hubungan yang terbangun di dalamnya, kemunculan aktor-aktor individual di luar
negara ini memperoleh perhatian khusus dari Thomas Friedman. Bagi Friedman
(2000) sistem globalisasi dibangun di atas tiga keseimbangan. Yang pertama
adalah keseimbangan di antara sesama negara-bangsa. Fenomena semacam
ini kita dapati, misalnya, dalam tarik-menarik kekuasaan antara Amerika Serikat
dan Uni Soviet (superpowers) pada masa Perang Dingin. Yang kedua adalah
keseimbangan antara negara-bangsa dan pasar global. Kita dapat melihat
bagaimana kekuatan pasar (supermarkets) telah mengendalikan dinamika
ekonomi Indonesia sehingga ia menyumbang peran bagi terjungkalnya Soeharto dari
kekuasaannya pada 1998. Yang ketiga adalah keseimbangan antara
individu dan negara-bangsa.
Hubungan yang terakhir ini
benar-benar baru dan khas era globalisasi. Karena globalisasi telah merubuhkan
tembok-tembok yang membatasi gerak dan jangkauan orang, dan karena globalisasi
juga secara simultan telah menghubungkan dunia ke dalam satu jaringan, maka ia
memberi kekuatan yang jauh lebih besar – ketimbang di masa sebelumnya – kepada
individu untuk memengaruhi baik negara-bangsa maupun pasar. Karena itulah,
demikian Friedman, kini individu (super-empowered individuals) dapat
muncul sebagai pelaku utama di panggung dunia tanpa harus dimediasi oleh
negara. Kurang lebih inilah kenyataan yang mewarnai gelombang demokratisasi
ketiga. Yaitu ketika panggung politik tidak hanya ditingkahi oleh polah negara
dan aktor-aktor besar yang sebelumnya selalu menjadi pusat perhatian, melainkan
pula oleh individu-individu dengan kekuatan luar biasa yang mampu membuat suatu
perubahan besar. Dengan latar belakang demikian, globalisasi (dalam salah satu
wajah ramahnya) telah membangun jalan bagi internasionalisasi demokrasi. Tak
dapat disangkal lagi, runtuhnya tembok-tembok yang mengekang kebebasan telah
membuat komunikasi menjadi begitu leluasa (Susanto, http://www.kibar.or.id/web/index.php? option=com_content&task=view&id=32&Itemid=53)
Keleluasaan ini berjalin kelindan
dengan harapan akan kehidupan yang sejahtera dan telah mendorong diterimanya
gagasan demokrasi di banyak tempat. Meluasnya gagasan kebebasan dan demokrasi
pada masa-masa terakhir dapat kita lihat dari apa yang dipotret oleh Freedom
House. Dalam laporannya pada 2004 lembaga ini menyoroti kebebasan dan
ketidakbebasan di 192 negara. Hasilnya 88 negara berada dalam kondisi bebas, 55
negara setengah bebas, dan 49 negara berada dalam kondisi tidak bebas. Jumah
ini, bagaimana pun, merupakan lonjakan yang berarti mengingat satu dekade
sebelumnya lembaga yang sama mencatat hanya 72 negara dari total 190 negara
yang berada dalam kondisi bebas. Jika mengikuti alur Gelombang Demokratisasi
Ketiga, maka kita dapat memperbandingkan bahwa dalam duapuluh tahun terakhir
terjadi perkembangan yang pesat (http://www.feedomhouse.org).
Pada 1973 Freedom House
memperkirakan sekitar 32% penduduk dunia berdiam di negeri-negeri yang bebas,
sementara pada 2003 angka tersebut meningkat menjadi sekitar 44% (setara 2,78
milyar penduduk). Laporan terbaru pun memberi kabar yang menggembirakan, karena
jumlah negara yang berada dalam kondisi bebas pada 2005 mencapai 89 negara,
setengah bebas 58 negara, dan yang tidak bebas 45 negara. Suatu kemajuan yang
cukup mengesankan. Mencermati kenyataan di atas, tidak berlebihan kiranya jika
abad duapuluh ini disebut sebagai Abad Demokrasi.
Dalam tulisannya yang bertajuk Democracy
as a Universal Value, Amartya Sen (1999) menyebut bahwa di antara berbagai
perkembangan hebat yang terjadi di abad keduapuluh, tak pelak, kebangkitan
demokrasi merupakan perkembangan yang paling nyata. Meski gagasan dasar
demokrasi berawal dari Yunani Kuno lebih dari dua milenium silam, demikian Sen,
namun gagasan demokrasi sebagai suatu komitmen universal adalah produk abad
keduapuluh. Dengan logika sejarah Hegelian, Francis Fukuyama (1992) bahkan
dengan lantang menyuarakan akhir sejarah. Yaitu ketika krisis ganda melanda
otoritarianisme dan perencanaan terpusat pada sosialisme, lalu menyisakan
satu-satunya pesaing tegak di arena sebagai suatu ideologi yang sifat potensial
universalnya telah terbukti: demokrasi liberal, doktrin tentang kebebasan
individu dan kedaulatan rakyat. Saya tidak ingin berada dalam posisi defensif
terhadap gagasan Fukuyama tentang akhir sejarah. Yang hendak saya katakan
adalah bahwa fenomena merebaknya gagasan demokrasi dan kebebasan yang melanda
dunia telah membelalakkan kesadaran banyak pihak.
Posisi intelektual Fukuyama hanya
salah satu di antara banyak pandangan lain yang berada dalam spektrum yang
serupa, yaitu pandangan bahwa demokrasi telah menjadi salah satu gagasan utama
yang dominan dalam pergeseran masa ini. Pada bagian akhir, saya ingin menyebut
bahwa fenomena meluasnya gagasan demokrasi yang antara lain dipacu oleh proses
globalisasi – sebagaimana telah saya uraikan di atas – sesungguhnya baru
merupakan salah satu wajah baik globalisasi. Patut dikemukakan pula bahwa masih
banyak distorsi yang terjadi dalam hubungan antarnegara dewasa ini. Distorsi
tersebut, bagaimana pun, mesti dilihat sebagai bagian dari wajah globalisasi
Menurut O’Donnell prinsip terpenting
demokrasi adalah kewarganegaraan (citizenship). Sedangkan Lyman
Tower Sargent, unsur-unsur kunci demokrasi adalah keterlibatan warga negara
dalam pengambilan keputusan politik, kesederajatan diantara warga negara,
kesederajatan kebebasan dan kemerdekaan yang diberikan atau dipertahankan warga
negara, sistem perwakilan dan sistem
pemilu.
Adapun proses demokratisasi, kalau
meninjau dua istilah itu, mengacu kepada proses-proses dimana aturan-aturan dan
prosedur kewarganegaraan diterapkan pada lembaga-lembaga politik yang dulu dijalankan
dengan prinsip-prinsip lain (misalnya pengawasan dengan kekerasan,
tradisi masyarakat, pertimbangan para pakar, praktek administratif) diperluas
sehingga mencakup mereka yang sebelumnya tidak ikut menikmati hak dan kewajiban
(misalnya golongan bebas pajak, kaum buta huruf, wanita, remaja, golongan etnis
minoritas dan warga negara asing) . Demikian pula bila aturan lama itu
diperluas sehingga meliputi isu-isu dan lembaga-lembaga yang semula tidak
menjadi wilayah partisipasi masyarakat seperti badan-badan pemerintahan,
jajaran militer, asosiasi kepentingan dan lembaga pendidikan. Dengan kata lain
sebuah proses demokratisasi merupakan perluasan partisipasi masyarakat dalam
berbagai keputusan politik.
Konsep demokrasi yang diproduksi
oleh paradigm Neo-liberalisme, selanjutnya melalui dukungan kekuasaan birokrasi
pengetahuan universitas yang memiliki jaringan skala global, serta dukungan
dana lembaga dana keuangan atau Bank berskala global. Paradigm demokrasi
neoliberal ini segera menjadi diskurus dominan mengenai tatanan politik yang
dianggap paling demokratis dan dimantapkan melalui berbagai proyek
demokratisasi seperti Pemilu dan Voter Education, Pemerintahan bersih
(clean government), serta tertib hukum, tanpa mempersoalkan siapa
sebenarnya yang ada dibalik semua itu (Jurnal Wacana Ilmu Sosial
Transformatif, No. II/1999:4).
Dibalik proyek demokratisasi,
negara-negara maju yang selama ini dikenal sebagai episentrum politik dunia,
mereka merusaha untuk menyebarkan virus politik “demokrasi” ke berbagai belahan
dunia, terutama negara-negara yang masih konservatif sistem politiknya atau
masih bercorak otoritarian. Demokrasi liberal berusaha untuk mengurasi peran
negara, dan memperluas peran masyarakat. Kebebasan politik masyarakat sangat
diagung-agungkan dalam idiologi demokrasi liberal. Demokrasi liberal muncul
sebagai respon terhadap persepsi ancaman dominasi negara terhadap kebebasan
individu (personal liberty)
Globalisasi menjadi arena bagi
menyebarnya “virus politik” demokrasi liberal ke berbagai belahan dunia. Di
lapangan politik, globalisasi menggerus tembok-tembok yang selama ini menjadi
sekat bagi hubungan antar masyarakat. Dalam proses ini, sebuah tindakan pada
level lokal dapat membawa akibat yang melampaui batas-batas fisik sehingga ia
memengaruhi apa yang terjadi di belahan lain dunia. Dalam rumusan David Held
(1995), globalisasi setidaknya tercermin pada dua fenomena yang memiliki
pengaruh nyata. Pertama, melonggarnya rantai-rantai yang membelenggu
aktivitas politik, ekonomi, dan sosial sehingga sekup semua aktivitas tersebut
kini membentang seluas dunia. Kedua, semakin intensnya tingkat interaksi
dan ketersalinghubungan di dalam dan di antara negara-negara serta masyarakat.
Kita dapat menoleh kembali ke masa
pascaPerang Dunia II ketika Amerika Serikat dan Uni Soviet keluar sebagai
pemenang pertarungan politik dan militer yang akbar itu. Kedua negara tersebut
lantas membagi dunia seolah menjadi dua kubu, mereka yang berpihak kepada
Amerika Serikat dan mereka yang berpihak kepada Uni Soviet. Ekspor ideologi
yang dilakukan oleh keduanya – melalui berbagai tekanan yang ekplisit maupun
implisit – tentu saja mengandaikan adanya komunikasi yang intens di antara
negara-negara. Tanpa prasyarat itu, daya jangkau tekanan ideologi tidak akan
mungkin melingkupi hampir setiap permukaan bumi. Dalam lingkup yang berbeda,
fenomena penyebarluasan gagasan politik dapat pula kita lihat dalam semangat
Revolusi Iran. Pascakeberhasilan menggulingkan Shah Reza Pahlevi dari
kekuasaannya pada 1979, Imam Khomeini berupaya untuk menyebarluaskan gagasan
revolusionernya (terutama) ke negara-negara berpenduduk Muslim.
Dalam perkembangan modern, dapat
disebut inilah kemunculan kedua (internasionalisasi) Islam ideologis sebagai
gagasan yang mempersatukan. Pada masa sebelumnya, fenomena semacam ini kita
dapatkan pada upaya perlawanan terhadap imperialisme hingga kelahiran
negara-negara baru (pascakolonial) di Jazirah Arab setelah berakhirnya Perang
Dunia II. Tetapi, berbeda dengan kemunculannya yang pertama, Islam ideologis a
la Khomeini ini memperoleh sambutan yang kurang menggembirakan di dunia Islam.
Dua hal setidaknya dapat disebut sebagai penyebab utamanya: 1) kekuasaan para
despot di wilayah-wilayah mayoritas Muslim masih cukup konsolidatif vis a
vis perlawanan rakyat, dan 2) semangat revolusi yang terbalut ajaran Syiah
diterima dengan sikap curiga oleh sebagian kalangan penganut Sunni. Kembali
kepada gagasan Held, patut pula dicatat bahwa dua fenomena yang telah disebut
di atas menjadi bagian dari mata rantai yang memungkinkan menyebarluasnya
gagasan tentang kebebasan dan demokrasi, terutama pada bagian akhir abad
keduapuluh.
Kita dapat merujuk pada apa yang
disebut oleh Samuel P Huntington (1995) sebagai ‘Gelombang Demokratisasi
Ketiga’, yang secara mengejutkan justru berawal dari kudeta para perwira
militer Portugal terhadap kekuasaan diktator Marcello Caetano pada 1974. Inilah
masa persemaian baru gagasan demokrasi – setelah ia sempat mekar lalu
menguncup, kemudian mekar dan menguncup kembali – dalam perjalanan panjang
peradaban sejak akar demokrasi modern itu mulai tumbuh seiring keberhasilan
Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika pada abad ke 18. Ketika menjelaskan
gelombang baru ini, Huntington menyebut bahwa demonstration effect
merupakan salah satu penyebab penting yang melahirkan gairah demokrasi di
berbagai negara. Informasi tentang peristiwa politik di suatu negara dapat
menyebar secara cepat ke negara-negara lain sehingga dampaknya tidak cuma
dirasakan oleh penduduk satu negara, pemikiran seorang ahli politik atau naskah
pidato seorang pejuang demokrasi diakses oleh orang-orang di tempat yang berlainan
seolah mereka sedang mendengarkan ceramah itu langsung di hadapan mereka.
Tidak mengherankan jika kemudian
muncul ‘efek meniru’ apa yang dilakukan oleh pihak lain di tempat yang berbeda.
Gelombang demokratisasi pun kemudian meluncur bak bola salju yang menggulung
pikiran-pikiran sempit penguasa otoriter. Namun demikian, penting untuk
dipahami bahwa demonstration effect dalam demokratisasi sesungguhnya
bukan fenomena yang sama sekali baru. Kita bisa menilik bagaimana gerakan
menuntut diakuinya hak politik kaum perempuan (suffragette) di Eropa dan
Amerika Serikat pada abad kesembilanbelas saling memengaruhi. Dalam The
Subjection of Women, yang terbit pada 1869, John Stuart Mill antara lain
menyebut upaya-upaya yang dilakukan oleh mereka yang memperjuangkan hak pilih
kaum perempuan di Amerika Serikat, Rusia, Itali, Prancis, dan Swiss demi
mendorong masyarakat Inggris untuk berupaya lebih keras untuk memperjuangkan
hal yang sama.
Berkembang dan menguatnya
demokratisasi di berbagai di belahan dunia tersbeut yang menurut Gustavo Esteva
dan Madu Suri Prakash pasca pasca perang dingin dan kemenangan idiologi
kapitalisme, sebagai proyek global. , yakni kampanye besar-besar oleh
negara-negara industri maju atau kapitalis Barat (yang mencap dirinya sebagai
“negara-negara demokratis”) untuk meyakinkan seluruh dunia bahwa pilihan
terakhir danterbaik bagi masa depan semua negara di dunia adalah tunduk pada
hukum-hukum ekonomi pasar bebas yang kapitalistik dalam kerangkan sistem
politik “demokratis” ala Barat.
Dalam konteks ini, Gustavo dalam
tulisannya : “Demokrasi radikal; Otonomi Lokal, Bukan Globalisasi”, mengajukan
kritik tajam dan mendalam terhadap tiga pilar, sekaligus Proyek Glbalisasi,
yang kini disebarkan keseluruh dunia, yakni (a). konsep otoritas dan otonomi
“pribadi perseorangan” (individual self), (b). konsep universalitas “hak
azazi manusia” (human rights), (c). konsep “kemajuan” pembangunan (development).
Para penganjur “proyek globalisasi”, yakin bahwa tiga mitos tersebut ini
yang akan menjadi “masa depan dunia”, dan merupakan sebuah keniscayaan,
sehingga yang menolaknya akan tergilas habis oleh roda sejarah ((Jurnal Ilmu
Sosial Transformatif “Wacana”, No. II, 1999:25).
Proyek Globalisasi dan demokratisasi
liberal yang mengagungkan “kebebasan”, kenyataanya justru menghapuskan
struktur-struktur politik lokal yang mampu bertahan dalam rezim colonial dan
rezim represif lainnya. Pembebasan yang diusung demokrasi liberal telah
menghapuskan otonomi lokal dan menggantinya dengan negara demokratis modern
yang sentralistik. Inilah salah satu kritik tajam atas lahirnya
liberalsasi politik yang terjadi di negara-negara berkembang dan menimbulkan
kritik-kritik lainnya dari berbagai pemikir politik yang skeptis terhadap “obat
mujarab” globalisasi dan demokratisasi dengan semangat universalitas dan
keseragaman dalam bingkai sistem politik dunia.
Kritik atas demokrasi liberal
Secara etimologis, demokrasi
sejatinya mengandung unsur problematis. Definisi yang umum “ pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, ia adalah definisi yang terlalu
normative, bukan definisi yang betul-betul mengacu pada sebuah entitas riil.
Ini karena kenyataanya rakyat tidak memerintah. Kadang-kadang, dalam
praktiknya, bahkan rkayat dalam demokrasil juga tidak mendapatkan apa yang
mereka inginkan. Dalam sejarahnya (sejak Yunani kuno), praktik demokrasi
bukanlah demokrasi yang sejati. Ia produk demokrasi abad 20, yang lebih
mengedepankan dan mengangungkan aspek demokrasi prosedural (Saiful
Munjani,”Demokrasi” dalam Membela Kebebasan; Percakapan tentang Demokrasi
liberal, Fredeem Institute, 2006).
Globalisasi dan demokratisasi yang
mengagungkan liberalisasi politik yang dihembuskan oleh negara-negara maju ke
berbagai belahan dunia, terutama ke negara-negara berkembang atau non
demokrasi, bermimpi akan melahirkan kesejahteraan bersama (collective
welfare), melahirkan tatanan politik yang demokratis bagi kesejahteraan dan
kemajuan suatu bangsa sebagaimana yang terjadi di negara-negara maju. namun
pada kenyataanya, yang terjadi jusru pemeliharaan kemiskinan, pengangguran,
kerusakan lingkungan, konflik-perpecahan sosial-politik, dan bahkan melahirkan
semangat dan kesadaran politik sparatisme di berbagai negara.
Banyak kritik terhadap pandangan
demokrasi liberal. Kritik tertua datang dari paham sosialisme, yang memandang
bahwa kompetisi bebas seperti yang dibayangkan oleh kaum liberal memang tidak
terjadi, karena tidakadilan basis material dan struktur yang pasti melahirkan
yang dikalahkan dan yang dimenangkan, bahkan sebelum berkompetisi, si pemenang
sudah bisa ditebak. Dengan kata lain, jika kita mendekati dengan teori Marx,
ada ketimpangan politik struktural antara ketika kompetesi –yang menjadi salah
satu ruh politik liberalism- antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang
atau miskin, antara pemilik kapital ekonomi dan politik dengan negara non
pemilik kapital dan akses politik. .
Kritik datang juga dari faham
demokrasi radikal yang berkembang di Amerika pasca perang dingin. Selain
mengkritik kaum neo-liberal, mereka juga mengkritik paham strukturalis Marxian
yang memiliki kecenderungan determinisme ekonomi dan kelas. Pandangan mereka
sering diasosiasikan sebagai pandangan kulturalis atau poststrukturalis, yang
berasumsi bahwa otoritairanisme dari kapitalisme akan dihentikan oleh
berkembangnya partisipasi rakyat itu sendiri. Paham kulturalis ini banyak
mengacu pada pemikiran Gamsci. Oleh karena itu gerakan demokrasi adalah gerakan
untuk meakukan konter hegemony terhadap idiologi dominan, dan yang memingkinkan
terjadinya “transformasi sosial” yang melibatkan proses kritik atas idiologi
dominan.
Kritik atas demokrasi juga datang
dari Chantal Mouffe, yang mengatakan kemenangan demokrasi muncul sesudah
rangkaian peristiwa keruntuhan Eropa Timur (baca: Uni Soviet), maka pertanyaanya
yang kini muncul adalah mampukah demokrasi mengakomodasi keunggulan-keunggulan
paham komunisme. Masalah keseteraan dan keadilan menjadi persoalan Sirius dalam
paham demokrasi liberal. Gustavo Esteva dan Madhu Suri Parakash bahkan
menantang secara teoritis keampuhan paham demokrasi. Dampak buruk demokrasi
seperti ketidakdilan dan hapusnya struktur plitik lokal telah menghadirkan
gerakan perlawanan. Gerakan yang hendak menghapuskan keberadaan struktur
authoritarian ini sekaligus akan mengorganisir kekuatan rakyat bagi tampilnya
struktur politik yang merupakan implementasi dari demokrasi yang riil.
Kritik cukup keras datang dari
Pemimpin Muamar Qadhafi dalam tulisannya tentang Menyingkap Watak Dikatator
dalam Mitos Demokrasi. Konsep demokrasi yang menampung gagasan pendirian
partai, pemilu dan parlemen mendapat tantangan sekaligus sindirian keras.
konsep partai hanya memunculkan sekumpulan orang yang mengatasnamakan rakyat
untuk meraih tujuan demi kepentingan sendiri. Tentang pemilu disebut sebagai
gagasan yang membodohkan karena rakyat memilih wakil yang tidak pernah
diketahui, baik asal-usul maupun gagasannya. Kemudian tentang parlemen, Qdafi
menyatakan, hanya embaga yang mengumpulkan lapisan masyarakat tertentu untuk
menyetuji kebijakan publik yang dikesankan demokratis (Jurnal Ilmu Sosial
Transformatif “Wacana”, No. II, 1999, hal. 7).
Globalisasi menjadikan demokratisasi
menjadi pilar dari political liberalism dan pasar bebas (market forces) sebagai
pilar yang saling menguatkan satu sama lain. Karena itu, demokrasi tidak
seiring dengan kesejahteraan, namun seiring dengan penguasaan aset oleh para
pemilih modal.
Ambil contoh di Amerika yang sering
dianggap banyak orang sebagai negara yang praktik demokrasinya paling maju,
sistem politiknya terbuka dan semua orang bebas bicara. Bukankah yang namanya
capital (harta) sangat menentukan jalannya sistem pemerintahan di sana? Jangan
bermimpi untuk menjadi anggota Senat, Kongres, atau menjadi Presiden kalau
tidak punya jutaan dolar; atau paling tidak, ada jutawan yang mem-backing-nya.
Tidak bisa dipungkiri, man behind the gun pemerintah Amerika sebenarnya para
pemilik modal besar, konglomerat, dan orang-orang kaya, yang bisa menentukan
siapa yang harus duduk di kursi penguasa. Munculnya skandal-skandal politik dalam
kampanye (money politics) akhirnya tak dapat dihindari. Belum lagi
policy mereka terhadap komunitas Indian, orang-orang kulit hitam (negro),
keturunan Amerika Latin (hispanik) yang menempatkan mereka pada—meminjam
istilah Amien Rais—sub-human, warga kelas dua. Tidak ada persamaan hak dan
keadilan bagi mereka. Belum pernah ada sejarahnya pemangku jabatan presiden
Amerika berasal dari penduduk asli benua Amerika. Demokratiskah Amerika?
Karena itu, tidak aneh kalau
pengkritik demokrasi seperti Gatano Mosca, Clifrede Pareto, dan Robert Michels
cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani
minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya, dalam demokrasi yang berkuasa
adalah sekelompok kecil atas kelompok besar yang lain. Seperti di Indonesia,
meskipun mayoritas, kaum Muslim berada dalam posisi yang kurang menguntungkan.
Indonesia lebih didominasi oleh kelompok minoritas terutama dalam hal kekuasaan
(power) dan pemilikan modal (capital).
Banyak kalangan menganggap bahwa
Parlemen adalah tulang punggung demokrasi. Sebenarnya parlemen bukanlah
perwakilan rakyat yang benar sehingga solusi yang salah arah jika parlemen
dianggap jawaban bagi persoalan demokrasi. Semula parlemen diniatkan
pendiriannya untuk mewakili rakyat, mesti pada kenyataannya parlemen sering
melakukan tindakan sewenang-wenang atas nama rakyat. Terbukti keberadaan
parlemen meniadakan sama sekali perwakilan rakyat, padahal demokrasi sejatinya
hanya ada melalui partisipasi rakyat, bukan sekedar aktivitas wakil rakyat.
Kecerobohan dalam parlemen adalah pertama, tidak adanya mekanisme antara
rakyat sebagai warga negara dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan, Kedua,
parlemen telah merampas kekuasaan dan kedaulatan rakyat. Fakta yang paling
Nampak, rakyat seringkali dimasabodohkan hanya dengan tampilan eksternal
demokrasi, yakni Pemilu.
Standar ganda Demokrasi Barat
(Kasus Demokrasi Palestina)
Kemenangan politik Gerakan
Perlawanan Islam Palestina atau lebih di kenal dengan Harokah Al Muqowwamah
Al Islamiyyah (HAMAS) dalam Pemilu di Palestina awal Januari 2006
mengejutkan dunia. Dalam Pemilu yang berjalan demokratis, HAMAS memperoleh
kursi di parlemen sebanyak 76 dari 132 kursi yang tersedia. Sedangkan partai
berkuasa, partai Fatah hanya memperoleh 43 kursi.
Dengan kemenangan mayoritas ini,
HAMAS mengendalikan dan memimpin pemerintahan baru PalestinaKemenangan ini
sangat tidak di duga baik oleh partai penguasa Palestina, partai Fatah pimpinan
Mahmoad Abbas, Israel maupun dunia Barat, terutama Amerika Serikat (AS). Kemenangan
HAMAS ini di anggap sebagai “ancaman” serius oleh lawan-lawan politiknya baik
di dalam negeri maupun di dunia internasional, seperti Israel dan sekutu
abadinya, AS.
Hasil demokrasi di Palestina
saat ini mulai terancam. AS tidak mau menerima kemenangan dan kehadiran HAMAS
dalam panggung politik Palestina. Berbagai upaya dilakukan AS untuk mengisolasi
pemerintahan baru Palestina di bawah kendali HAMAS, salah satunya dengan
melakukan embargo politik dan ekonomi. Embargo politik yang dilakukan AS yakni
mendesak kepada negara-negara Barat dan Timur Tengah agar tidak melakukan
hubungan kerjasama dengan pemerintahan baru Palestina.
Kampanye pemutusan hubungan dengan
pemerintahan baru Palestina pun terus dilakukan AS dan sekutu-sekutunya ke
berbagai negara. Dalam setiap kunjungannya ke beberapa negara Barat dan
Timur-Tengah, AS tak lupa memasukan agenda kampanye tolak pemerintahan HAMAS.
Dan AS terus menggalang dukungan politik ke beberapa negara di dunia, terutama
di Uni Eropa dan Timur-Tengah dan mendesak Uni Eropa dan Negara-Negara Timtur
Tengah tidak melakukan hubungan kerjasama dengan pemerinthan baru Palestina.
Citra garis keras, terorisme juga sering kali dialamatkan dan dikampanyekan AS
terhadap HAMAS untuk menyakinkan negara- negara Uni Eropa dan Timur Tengah.
Selain embargo politik, pemerintahan
HAMAS saat ini juga ditekan dengan embargo ekonomi. AS dan Uni Eropa
menghentikan seluruh bantuan ekonomi dan finansial kepada pemerintahan
Palestina. AS juga mendesak agar negara-negara di Timur Tengah tidak memberikan
bantuan ekonomi dan finansial kepada pemerintahan baru Palestina. Bahkan AS dan
Uni Eropa sudah memblokir semua bank-bank di Eropa dan Timur Tengah yang
mentrasfer uang kepada Palestina.
Blokade ekonomi AS dan
sekutu-sekutunya ini telah menyebabkan kelumpuhan sosial-ekonomi yang begitu
memprihatinkan. Kelaparan dan penderitaan warga terjadi di mana-mana. Kas
pemerintah Palestina sendiri saat ini juga dalam kondisi kosong dan bahkan
mengalami defisit $180 juta. HAMAS justru mewarisi hutang pemerintahan
sebelumnya sebesar Rp 1,3 milyar dollar. Pada saat yang sama gaji pegawai
negeri saja mencapai 118 juta dollar per bulan untuk 140 ribu pegawai. Bahkan
transfer uang bulanan dari pajak yang dipungut pemerintahan Israel sebesar Rp
50 juta dollar, yang seharusnya menjadi hak rakyat Palestina, sudah dihentikan.
Bahan makanan sehari-hari seperti
susu, roti, sayur-sayuran dan bahan makanan lainnya sangat sulit ditemukan di
seluruh wilayah Palestina. Sementara itu, setiap hari rumah sakit di Palestina
terus menerima korban luka kritis dari aksi invasi militer Israel yang tak
pernah berhenti. Pendek kata, pemerintahan baru HAMAS saat ini dalam kondisi
tekanan politik dan ekonomi yang begitu memprihatinkan. Namun demikian, HAMAS
tetap pada pendiriannya, yakni tidak akan mengakui Israel sebelum Israel
membebaskan tanah-tanah Pelestina yang dirampok.
Sebenarnya AS lah yang pertama kali memberikan peluang demokrasi kepada
Palestina, yakni dengan diadakannya pemilu yang berjalan secara demokratis.
Tapi, setelah proses demokrasi berjalan dengan baik dan dimenangkan kelompok
HAMAS, justru AS lah yang pertama kali juga berusaha menghancurkan demokrasi di
Palestina. AS tidak bisa menerima kehadiran politik HAMAS di panggung politik
Palestina yang notabenenya berseberangan dengan salah satu sekutu abadinya,
Israel.
Sikap dan tindakan politik AS merupakan bentuk nyata dari standar ganda yang
selama ini dipraktikkan AS. AS yang mengklaim dirinya sebagai kampium demokrasi
dan gembar-gembor bicara demokrasi di seluruh dunia, namun ketika proses
demokrasi (baca: Pemilu) itu dimenangkan kelompk Islam, AS tidak mau
menerimanya. Bahkan berusaha untuk menghancurkan. AS mau mengakui dan bahkan
membantu negara-negara yang menerapkan demokrasi jika proses dan hasil
demokrasinya (baca: Pemilu) sesuai dengan kemauan dan kepentingan AS, jika
tidak sesuai dengan kepentingan AS , maka AS akan menolaknya dan tidak
segan-segan menghancurkannya.
Sikap dan tindakan politik AS
terahdap Palestina ini sama dengan kasus nuklir Iran. Iran juga mendapat
perlakuan tidak adil dari dunia yang dimotori oleh AS. Iran terus
mendapat tekanan politik, ekonomi dan bahkan keamanan (baca: militer) dari AS
dan sekutu-sekutunya. Bahkan AS mengancam akan “mengiraqkan” Iran yang dinilai balelo
dengan kemauan AS. AS merasa ketakutan (paranoid) jika ada negara-negara lain
di dunia ini, apalagi negara Islam- memiliki program nuklir. Program nuklir
Iran di nilai akan mengancam eksistensinya sebagai negara super power.
Padahal jika mau fair, AS dan sekutu abadinya, misalnya Israel sendiri,
juga memiliki program dan senjata nuklir yang berbahaya bagi keselamatan
masyarakat dunia, tapi mengapa dunia internasional tidak mengecamnya.
Sebut saja Israel yang memiliki
senjata pemusnah massal yang sering digunakan untuk memusnahkan warga Palestina
sejak tahun 1948. Mengapa negara Yahudi ini tidak di tindak sama sekali,
apalagi di kecam. Yang terjadi justru dunia internasional, yang dalam hal ini
diwakili AS dan negara-negara Barat- membiarkan pemusnahan warga Palestina oleh
Israel yang didukung AS bertahun-tahun. PBB yang diharapkan bisa berbuat
banyak, juga sama saja. PBB membiarkan AS dan Israel berusaha menghancurkan
Pelestina.
Keatidakadilan dunia yang dimotori AS dan sekutunya tidak hanya pada kasus
Paletisna dan Iran, tapi juga pada kasus Iraq. Dunia diam ketika AS dengan
arogan dan tanpa alasan menghancurkan rezim Iraq Saddam Husein. Iraq
dihancurkan AS dan sekutunya karena dituduh memiliki senjata pemusnah massal,
padahal dalam kenyataan tidak memiliki sama sekali. Begitu juga, ketika Israel
menghancurkan Palestina, AS dan negara-negara Baratpun diam seribu bahasa.
Dunia tidak mengecam sama sekali tindakan agresi militer Israel terhadap negara
berdaulat Palestina. Bahkan AS dan negara-negara Barat memberi dukungan politik
dan keamanan (baca: persenjataan) kepada Israel dalam skenario penghancuran
Palestina. Di sinilah nampak sekali ketidakadilan dunia yang dimotori AS dan
negara-negara Barat atas negara-negara Islam, tak kecuali Palestina.
Palestina adalah negara yang
berdaulat yang saat ini sedang terancam, baik dari segi sosial, politik,
ekonomi dan keamanannya oleh kekuatan politik dunia yang dimotori AS dan Uni
Eropa. Karena itu, sudah menjadi kewajiban politik dan ekonomi bagi
negara-negara di dunia, terutama dunia Islam untuk membantu rakyat dan
pemerintahan Palestina, baik dalam bentuk bantuan keuangan, politik dan
diplomasi. Perlu adanya solidaritas dan gerakan internasional negara-negara
muslim di dunia untuk bersama-sama mendesak AS dan sekutunya menghormati dan
mengakui proses demokrasi di Palestina. Kita selamatkan demokrasi di Palestina,
selamatkan Palestina (rakyat dan pemerintahannya) dari ancaman AS dan Uni Eropa
yang berusaha menghancurkannya.
Demokrasi dan Kesejahteraan; Kasus
Indonesia
Menurut, pengamat ekonomi politik
dari IPB, Didin S Damanhuri, secara teoritis, setidaknya ada empat
kategori di dunia dalam hubungan antara demokrasi politik dan kesejahteraan
ekonomi rakyat. Pertama, bersamaan dengan sukses demokratisasi politik
juga diikuti oleh tingkat kesejahteraan ekonomi rakyat yang signifikan seperti
dipertotonkan oleh negara-negara Barat. Meski harus diberi catatan bahwa
kemakmuran mereka tak lepas dari politik kolonialiame dan imperalisme terhadap
negara berkembang di masa lalu disamping standar ganda yang tak demokratis di
tingkat hubungan internasional vis-a-vis Negara berkembang sekarang ini. Di
luar negara-negara Barat tersebut, juga terdapat Jepang, Turki, dan
negara-negara industri baru Asia (Korea, Malaysia, dan Thailand).
Kedua, negara-negara yang tak demokratis secara politik namun
tingkat kesejahteraan ekonomi rakyatnya relatif tinggi dan merata seperti
diperlihatkan Cina dan Singapura. Ketiga, negara-negara yang tradisi
demokrasi politiknya maju namun kesejahteraan ekonomi sebagian besar rakyatnya
rendah seperti dicontohkan India dan Filipina serta banyak negara-negara
Amerika Latin. Keempat, negara yang demokrasi politik dan kesejahteraan
ekonomi rakyatnya buruk dan rendah seperti yang terjadi di Pakistan,
Bangladesh, dan hampir semua negara-negara Afrika (Republika, 10 Mei 2005).
Dalam konteks Indonesia, ini yang kemudian menimbulkan perdebatan publik,
apakah demokrasi berkorelasi positif atau (justru) negatif terhadap dengan
kemakmuran atau kesejahteraan. Ini setidaknya pernah muncul ketika ada dialoge
today edisi khusus di Metro TV 1 dan 2 Januari 2008. Ada salah seorang
peserta diskusi mengemukkan, “gerak reformasi kita sudah berjalan 10 tahun,
namun reformasi dan demokrasi yang kita usung dan perjuangkan belum
menghasilkan sesuatu yang berharga, terutama kesejahteraan bagi rakyat”. Selama
10 tahun kita hidup dengan demokrasi. Namun demokrasi itu belum mampu
memberikan kehidupan atau menghidupi rakyat.
Dalam perspektif kelompok pesimis
dan skeptis, demokrasi yang diharapakan mampu memberikan kesejahteraan, namun
praktiknya justru membawa kesengsaraan rakyat. Kita sudah terlalu lelah hidup
dengan demokrasi. Demokrasi telah menguras energi masyarakat, terutama energi
materiial. Selama satu dekade ini sudah puluhan triliun rupiah uang rakyat
terkuras habis untuk demokrasi yang mewujud dalam dua kali Pemilu dan ratusan
Pilkada (gubernur dan bupati)[11].
Uang ratusan triliun tersebut seperti tidak membekas dalam kehidupan rakyat.
Kondisi rakyat kita (baca: kesejahteraan) bukannya semakin membaik, justru
semakin memburuk.
Kelompok pesimis menunjukkan dengan
data-data statistik selama satu dekade ini. Sebut saja misalnya; angka
kemiskinan meningkat, pengangguran meningkat, putus sekolah meningkat,
kelaparan meningkat. Kualitas hidup masyarakat terus mengalami keterpurukan.
Bagi kalangan optimis; demokrasi berkorelasi atau berpotensi bisa melahirkan
kesejahteraan. Tapi dengan catatan harus ada kesabaran sosial-politik.
Memang demokrasi membutuhkan sebuah
proses dan waktu agar melahirkan kemakmuran. Namun, dengan melihat realitas
saat ini, sampai kapan rakyat ini harus menunggu?. Selama 10 tahun, rakyat
sudah begitu lelah, dan bahkan kehabisan energi dan kesabarannya dengan
“janji-janji dan harapan manis” dari demokrasi. Demokrasi selama ini benefitnya
hanya melahirkan kebebasan saja, tapi belum memberikan keberkahan sosial dan
ekonomi bagi masyarakat. Dengan kata lain, keberkahan demokrasi adalah
kebebasan, lainnya bencana.
Menurut kalangan optimis, menyatakan
setidaknya harus ada prasyarat atau empat modal yang harus dipenuhi pemerintah
agar demokrasi berjalan dengan baik dan melahirkan kemakmuran, yakni modal
fisik (fisic capital), modal SDM (human capital), modal sosial (social
capital), modal politik (political capital). Namun kalangan optimis
terlalu teoritis, tak cukup membumi atau tak melihat kondisi realitas
psikologis sosial-politik kehidupan masyarakat. Realitasnya, kehidupan
demokrasi kita selama 10 tahun ini terus mengalami defisit. Praktik korupsi
yang melibatkan para elit politik negeri ini, mulai dari pusat sampai daerah
dan berbagai persoalan bangsa lain seperti konflik-konflik sosial menunjukkan
defisitnya demokrasi. Demokrasi defisit melahirkan kehidupan masyarakat yang
terpuruk (baca: kesejahteraan semakin berkurang).
Secara teoritis, kesejahteraan
biasanya bisa tumbuh subur dalam negara yang menerapkan sistem pemerintahan
yang otoriter, bukan demokrasi. Meskinpun tidak ada kebebasan, namun mampu
menghadirkan kesejahteraan. Malaysia, Singapura, dan negara-negara Timur
Tengah, termasuk Indonesia di bawah rezim Seoharto adalah contohnya. Namun
bagaimanapun juga- terlepas dari keburukan-keburukan rezim Soeharto-, hadirnya
pemerintahan yang otoritarian harus diakui telah memberikan tingkat
kesejahteraan ekonomi rakyat, meskinpun tidak ada kebebasan berpolitik. Jika
mau pertumbuhan ekonomi baik dan kesejehteraan hadir di tengah masyarakat, maka
hadirnya pemerintahan “otoritarian” yang berpihak pada kepentingan publik
adalah jawaban yang patut dipertimbangkan kembali..
Terlepas banyak kekurangan dan kelemahan dalam sistem pemerintahan otoritarian,
namun Orba mampu menghadirkan tingkat kesejahtaraan rakyat yang cukup memadai.
Sebaliknya jika kita ingin demokrasi maka yang akan muncul adalah pertumbuhan
ekonomi yang lambat, karena perlu (waktu) untuk kompromi. Dan secara teoritis dan
praksis, dalam negara-negara berkembang yang menganut sistem demokrasi,
pertumbuhan ekonominya sangat lambat. Karena di sana banyak dialog, kompromi,
dan kompensasi. Dan ini yang kita rasakan saat ini, ketika kita memilih
demokrasi, pertumbuhan ekonomi kita sangat lambat dan konsekwensinya tingkat
kesejahteraan rakyat rendah. Angka kemiskinan melambung, penganguran naik,
beras mahal, minyak mahal, pendidikan mahal, dan problem sosial lainnya yang
sampai saat ini masih menjadi teman setia masyarakat kebanyakan.
Bahkan demokrasi seperti sekarang
telah melahirkan problem politik baik di tingkat elit maupun masyarakat.
Konflik dan perpecahan elit sipil parpol yang terus menjadi konsumsi harian
rakyat sebenarnya telah menghancurkan semangat dan prinsip-prinsip demokrasi.
Negeri ini telah hidup demokrasi, tapi masih dalam tahapan demokrasi
prosedural. Hal ini ditunjukkan dengan hadirnya lembaga-lembaga politik formal.
Namun kita belum sampai pada demokrasi yang substansial. Artinya nilai,
semangat, budaya dan prinsip-prinsip demokrasi bukan hanya sekedar wacana
harian, tapi menjadi bagian dari perilaku dan perbutan keseharian kehidupan
politik para elit politik kita. Demokrasi substansial ini yang sampai saat ini
masih nihil.
Dengan kata lain, ini adalah sebuah
pilihan politik masyarakat dan negara. Apakah kita mau demokrasi dengan
konsekwensi pertumbuhan ekonomi lambat dan karenanya kesejahteraan rakyatpun
lambat berkembang atau kita mau dengan otoritarian dengan jaminan politik
kesejahteraan rakyat berkembang namun kebebasan politik dibatasi. Ekstrimenya,
mau demokrasi, tapi rakyatnya lapar atau otoritarian dengan jaminan rakyat
kenyang.
Demokrasi yang diharapkan
menghadirkan kesejehtaraan rakyat, justru di bajak oleh elit-elit Parpol.
Munculnya PP 37/2007 merupakan salah satu manifestasi pembajakan demokrasi oleh
elit. Masyarakat dibiarkan bahkan di paksa makan aking, lantaran tak mampu beli
beras karena harganya melambung. Dengan kata lain, masyarakat kebanyakan (baca:
masyarakat miskin) sudah mulai berprasangka buruk terhadap hadirnya demokrasi.
Faktanya dengan demkorasi seperti saat ini rakyat lapar, biaya pendidikan
mahal, cari kerja susah dan berbagai kesulitan hidup lainnya. Pikiran politik
pragmatis masyarakat akhirnya muncul ; apapun sistem pemerintahannya yang
penting rakyat kenyang. Bahkan mungkin masyarakat jika di suruh memilih, maka
akan cenderung pilih otoritarian dengan jaminan kesejahteraan daripada
demokrasi (kebebasan) tapi rakyat lapar. Dan ini yang dipraktikkan di beberapa
negara-negara berkembang yang menganut sistem pemerintahan otoritarian, rakyat
cukup sejahtera, termasuk indonesia di bawah rezim militer Orba.
Bagi rakyat, apapaun sistem
pemerintahannnya bukan menjadi persoalan prinsip, yang terpenting adalah
bagaimana kesejahteraan bisa hadir nyata dalam kehidupan masyarakat. Apakah itu
demokrasi atau otoritaran. Jika otoritarian dapat menghadirkan kesejahteraan
bagi rakyat, mengapa harus ditolak. Justru yang kita tolak adalah ketika
demokrasi menghadirkan kemiskinan bagi masyarakat.
Globalisasi, Demokratisasi, dan
Sparatisme di Indonesia
Arus globalisasi dan
demokratisasi tidak mengenal ruang dan waktu, dan bahkan tak mengenal sasaran
negara. kuatnya arus globalisai dan demokratisasi tersebut “memaksa” peran
politik negara untuk melindungi kedaulatan politik nasional. Namun meskinpun
telah dibuat berbagai regulasi untuk menguatkan kedaulatan politik nasional,
namun bukan berate arus globalisasi dan demokratisasi tidak menyeruak ke akar
rumput.
Gairah berdemokrasi justru semakin
menyeruak di berbagai daerah di Indonesia. Daerah-daerah yang selama ini
menjadi “korban politik dan ekonomi” pusat, semakin mendapatkan momentumnya
untuk bereaksi dan beraksi sesuai dengan kesadaran politik dan politik
identitasnya yang dimilikinya. Dengan kata lain, politik identitas di berbagai
daerah semakin menguat seiring dengan arus globalisasi dan demokratisasi.
Contoh yang paling ekstrem adalah, munculnya berbagai gejolak politik dan
bahkan gerakan sparatisme yang mengatasnamakan “kebebasan politik dan demokratisasi”.
Masyarakat menginginkan ruang
kebebasan berekspresi dan berpolitik. Negara harus memberikan ruang kebebasan
bagi warganya untuk berserikat. Virus demokrasi liberal yang diusung mesin
globalisasi benar-benar ditangkap oleh masyarakat yang pada saat yang sama
telah mengalami proses depolitisasi dari negara yang otoritarian. Dengan kata
lain, globalisasi dan demokratisasi telah memberikan dampak yang cukup
signifikan bagi tumbuhnya kesadaran berpolitik dan berdemokrasi, apalagi
demokrasi yang diusung adalah demokrasi liberal.
[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[[p[
Produk Demokrasi Global
Gerakan politik dari sekelompok
orang yang menginginkan “kemerdekaan” terus berkembang dan semakin menguat
sering dengan semakin kuatnya arus globalisasi dan demokratisasi yang
disemburkan oleh negara-negara maju. Indonesia punya pengalaman pahit, dengan
lepasnya Timor-Timur. Aceh pun nyaris lepas dan bernasib sama seperti
Timor-Timur namun terselamatkan dengan kebijakan otonomi khusus. namun
demikian, tidak menghilangkan substansi dan ruh politik Aceh yang digawangi
oleh mantan sparatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tampilnya gubernur Irawadi
Yusuf-Nazarudin, merupakan “symbol” politik kemenangan GAM.
Gerakan sparatisme di Indonesia
semakin meluasnya dengan kembalinya Papua bergejolak. Gerakan sparatisme Gerakan
Papua Merdeka, masih memiliki pengaruh kultural dan politik domestik dan
internasional. Gerekan Papua Mereka semakin hari bukan semakin menyusut, justru
semakin bersemangat dan militan untuk merdekan. Solusi Pusat berupa kebijakan
otonomi khusus buat Papua, ternyata tidak menyurutkan kelompok gerekan
sparatisme Papua untuk terus berjuang mendapatkan kemerdekaannya. Bahkan
riak-riak kecil sudah mulai menjalar ke beberapa daerahlainnya.
Yang menjadi pertanyaan, fenomena
politik apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Indonesia, mengapa mengapa GAM
atau Papua Merdeka sangat berambisi untuk merdeka? Tuntutan dan ambisi politik
gerakan sparatisme untuk merdeka bukan sekedar karena kekecewaannya terhadap
pemerintajh pusat yang berlaku tidak adil. Dalam konteks politik global,
munculnya riak-riak sparatisme berbagai negara seperti di Philipina, Pakistan,
India, dan termasuk di Indonesia bukanlah kasus yang berdiri sendiri. Ia adalah
produk dari adanya liberalisasi politik secara global dan produk dari makin menggeliat
tumbuhnya tuntutan demokratisasi secara global.
Anthony Giddens dalam bukunya Runaway World (1999) mengatakan
globalisasi menjadi alasan bagi kebangkitan kembali identitas budaya lokal di
berbagai belahan dunia. Jika Orang-orang bertanya, misalnya, mengapa
orang-orang Skotlandia menginginkan kemerdekaan yang lebih besar di Kerajaan
Inggris, atau mengapa ada gerakan separatis yang kuat di Quebec, jawabannya
tidak ditemukan hanya dalam sejarah kebudayaan mereka. Nasionalisme lokal merebak
sebagai respon terhadap kecenderungan globalisasi, seiring dengan melemahnya
negara-negara lama
Setelah tumbangnya rezim-rezim sipil
dan militer yang otoriter, maka mulai muncul dan tumbuh berkembang wacana
demokratisasi dalam skup global. Wacana demokrasi menjadi primadona suatu
negara dalam menjalankan sistem pemerintahannya. Demokrasi tumbuh di mana-mana
bagaikan tumbuhnya jamur di musim hujan. Wacana demokrasi merupakan antitesa
terhadap rezim otoriter suatu negara. Survey Freedom House 1991-1992, menunjukkan
secara menyakinkan tumbuhnya demokrasi di berbagai belahan dunia, tak
terkecuali di Asia (Chan Heng Chee, 1993;159). Lalu kita juga bisa
memperoleh “kesaksian-kesaksian tangan pertama” tentang episode demokratisasi
di negara-negara berkembang – di Argentina, Fhilipina, Chile, Nigeria, Sudan
dll- dari para pejuang demokrasi di negara-negara itu (Larry Diamond, ed,
Democratic Revolution: Struggle for Freedom and Pluralism in The Developing
World, 1992) .
Kondisi perubahan sejarah secara dramatis tersebut (otoriter ke demokrasi) apa
yang dikatakan Samuel P. Huntington dalam The Third Way (1991) sebagai
“gelombang ketiga demokratisasi”. Robert Dahl dalam Democracy and Its
Critics (1989), menyebutnya dalam istilah lain: “transformasi demokrasi
ketiga”. Sinyalemen akan menyebarnya wacana demokratisasi ini pernah
diungkapkan seorang futuris terkenal berkebangsaan Jepang, Francis Fukuyama
melalui bukunya yang cukup fenomenal The End of history and The Last
Man (1992). Fukuyama menggambarkan menyebarnya virus demokrasi
keseluruh pelosok bumi dan berkibarnya tanda-tanda kemenangan demokrasi
liberal. Menurut Fukuyama, terbentuklah “abad demokrasi” dan sejarah peradaban
pun telah berakhir (the end of
history)
Hal senada juga diungkapkan oleh John Naisbitt dalam bukunya yang monumental Global
Paradox (1994), mengatakan bahwa suatu saat akan terjadi penyebaran
demokrasi global. Namun berbeda dengan Fukuyama yang mengajukan teori the
end of history, Naisbitt mengajukan teori the end of politics (hlm.
39). Menurut Naisbitt, berkembangnya demokrasi justru membentuk sejarah baru:
terpecah-pecahnya negara-bangsa menjadi unit-unit kecil. Demokrasi, di mata
Naisbitt, justru membesarkan dan melipatgandakan keasertifan (penegasan) suku
(hlm.16).
Naisbitt pun meramalkan bahwa jika saat ini ada hampir 200 negara di atas bumi,
menjelang tahun 2000 akan ada 300 negara, dan di masa yang akan datang angka
ini akan membengkak menjadi 1000 negara. Secara sinikal, Naisbitt menyebut ide
negara dan perbatasan merupakan ide yang tidak relevan lagi di tengah era
keterbukaan dan globalisasi.
Atas dasar inilah Naisbitt sampai mengeluarkan satu hipotesa: semakin besar
demokrasi, semakin banyak negara, semakin kecil bagian dari ekonomi global.
Inilah yang dinamakan sebuah paradok global. Paradok global ini memberi peluang
kepada ummat manusia untuk mengekspresikan diri secara individual; peluang yang
jauh lebih besar dibandingkan dengan masa manapun dalam sejarah ummat manusia
-begitu tesis utama Naisbitt. Pendek kata, demokrasi yang mengglobal membawa
konsekwensi pada rawannya faham sparatisme suatu negara. Maka semakin tumbuh
suburnya unit-unit (negara) kecil dalam konteks ini tak dapat dielakkan. Tak
terkecuali ketika kita melihat kasus tuntutan Aceh untuk merdeka. Dengan kata
lain, tuntutan Aceh referendum untuk merdeka adalah sesuatu yang wajar dalam
kaca mata wacana demokrasi. Demokrasi sangat menghormati dan menghargai
kemerdekatan tiap individu maupun kelompok dalam mengekspresikan dirinya, baik
secara ekonomi maupun politik. .
Ramalan dua futuris di atas adalah tidak terlalu berlebihan apabila kita
mencermati berbagai tuntutan referendum/merdeka yang terjadi di belahan dunia
tak terkecuali daerah-daerah di Indonesia. Timor-Timur dapat dikatakan
merupakan salah satu korban dari ramalan tersebut. Apakah Aceh juga akan
menjadi korban selanjutnya ?
Liberalisasi Politik
Secara faktual, berbagai bentuk resistensi yang dimotori oleh GAM atau Papua
Merdeka dan kejadian-kejadian politik dan kekerasan (baca: merdeka dan atau
gagasan referendum) yang mengiringinya adalah fakta akan munculnya indikasi
sparatisme baru yang tak terbantahkan. Ini adalah realitas politik dan
sekaligus pil pahit yang harus dihadapi dan diterima pemerintahan reformasi.
Setelah Timor-Timur menjadi satu korban dari proses liberalisasi politik dan
demokratisasi global, kembali, kini apa yang diramalkan kedua futuris di atas
yakni mengenai bahaya sentrifugalisme (lepasnya) bagi bangsa-bangsa majemuk
semacam Indonesia bisa saja terjadi, terutama di Aceh. Kasus Aceh dan Papua
adalah pukulan telak kedua setelah Timor-Timur. Liberalisasi politik sebagai
tuntutan global yang digulirkan bangsa Indonesia dengan ditandai demokratisasi
disegala bidang, selain memberikan kontribusi positif bagi pembangunan bangsa,
juga telah memberikan potensi adanya kerawanan politik di daerah, yakni bahaya
sparatisme. Virus menakutkan ini sebenarnya bisa dihilangkan, apabila
permasalahan daerah yang selama ini tidak mendapat perlakuan yang adil dari
pusat diselesaikan secara menyeluruh. Misalnya masalah ketidakadilan di bidang
sosial, politik, ekonomi dan hukum. Kondisi ini akan menjadi bom waktu
bagi pemerintah di masa yang akan datang, bila tidak ditangani secara serius.
Dus, kasus Aceh, Papua dan beberapa daerah lainnya yang menginginkan
referendum atau merdeka adalah merupakan cost (sosial-politik) yang
harus dibayar pemerintah ketika menerapkan kebijakan liberalisaasi politik
(baca: demokratisasi). Wacana demokrasi yang selama ini di anggap paling execelent
dan menjadi primadona suatu negara akhirnya tidak hanya memberikan
kontribusi yang konstruktif bagi pembangunan bangsa, akan tetapi dalam faham
demokrasi itu sendiri juga mengandung virus yang sangat menakutkan, yakni virus
sparatisme. Dengan kata lain, faham demokrasipun sangat potensial sekali
dalam memberikan kontribusi yang sifatnya destruktif (baca: virus
sparatisme). Atau dalam istilah yang lain: demokrasi adalah bagaikan pisau yang
bermata dua. Ia berpotensi melindungi dan sekaligus berpotensi membunuh. Hal
ini sangat bergantung pada siapa yang memakainya.
C. Konflik, Teror dan Kekerasan
Konflik
Konflik berasal dari kata kerja
Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik
diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang
tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu
sendiri.
Keberadaan konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa
individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan
lain sebagainya. Deng
0 komentar :
Posting Komentar